Noviyanti Fathan & Partners
Advokat, Pengacara & Konsultan Hukum
Jumat, 01 Maret 2024
Electoral Justice System Dalam PEMILU 2024
Kamis, 12 Oktober 2023
ICE COLD, Murder, Coffe and Jessica Wongso
Rabu, 03 Mei 2023
Hukum Digital Dan Keamanan Digital
Senin, 14 November 2022
Mengenal Judex Factie dan Judex Jurist dalam Praktik Peradilan
Kamis, 13 Oktober 2022
Mengenal UU ITE
UU ITE menjadi trending
dan ramai diperbincangkan menyusul kasus viral pencuri coklat di Alfamart yang
malah mengancam pegawai minimarket tersebut dengan UU ITE. Kasus ini terjadi di
Alfamart Sampora, Cisauk, Tangerang pada 13 Agustus 2022. Lantas, sebenarnya
apa itu UU ITE dan apa saja yang diatur di dalamnya?
Pada kasus pegawai
Alfamart yang memergoki pencuri cokelat, dia malah diancam dengan UU ITE dan
dipaksa membuat video permintaan maaf. Ancaman UU ITE tersebut dibenarkan oleh
manajemen Alfamart. Kasus viral ini bahkan sampai melibatkan pengacara kondang Hotman
Paris yang bersedia membela pihak Alfamart.
Apa
Itu UU ITE?
Sebelum membahas lebih
dalam mengenai perdebatan penggunaan UU ITE, mari mengenal pengertian dari
produk hukum satu ini. Sederhananya, UU ITE atau Undang-undang Informasi dan
Transaksi Elektronik adalah undang-undang yang mengatur mengenai informasi dan
transaksi elektronik
UU ITE pertama kali
disahkan melalui UU No. 11 Tahun 2008 sebelum akhirnya direvisi dengan UU No.
19 Tahun 2016. Berdasarkan UU ITE, informasi elektronik adalah satu atau
sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara,
gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat
elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya,
huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang
memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Sementara, transaksi
elektronik merupakan perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan
komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya. Aturan ini
berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur UU
ITE, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum
Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di
luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.
Manfaat
UU ITE
Salah satu pertimbangan
pembentukan UU ITE adalah pemerintah perlu mendukung pengembangan teknologi
informasi melalui infrastruktur hukum dan pengaturannya sehingga pemanfaatan
teknologi informasi dilakukan secara aman untuk mencegah penyalahgunaannya
dengan memperhatikan nilai-nilai agama dan sosial budaya masyarakat Indonesia.
Sementara, secara umum
kehadiran UU ITE memiliki beberapa manfaat jika dilaksanakan dengan benar.
Sebagai UU yang mengatur informasi dan transaksi elektronik di Indonesia,
berikut beberapa manfaat UU ITE:
Menjamin kepastian
hukum untuk masyarakat yang melakukan transaksi elektronik
Mendorong adanya
pertumbuhan ekonomi di Indonesia
Salah satu upaya
mencegah adanya kejahatan yang dilakukan melalui internet
Melindungi masyarakat
dan pengguna internet lainnya dari berbagai tindak kejahatan online.
Perbuatan
yang Dilarang UU ITE
UU No. 19 Tahun 2016
tentang Perubahan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik menjelaskan secara rinci apa saja perbuatan yang dilarang. Bagi
mereka yang melanggar UU ITE berpotensi mendapat hukuman berupa denda hingga
kurungan penjara. Berikut beberapa perbuatan yang dilarang UU ITE:
1. Menyebarkan Video
Asusila
Perbuatan pertama yang
dilarang dalam UU ITE adalah orang yang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang
melanggar kesusilaan. Ini diatur dalam pasal 27 ayat (1) UU ITE.
Setiap orang yang
melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
2. Judi Online
Selanjutnya, pasal 27
ayat (2) UU ITE memuat larangan perbuatan yang bermuatan perjudian. Hukuman
untuk mereka yang melanggar adalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
3. Pencemaran Nama Baik
Pasal 27 ayat (3) UU
ITE juga mengatur tentang pencemaran nama baik. Pelaku yang dijerat dengan
pasal ini bakal dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau
denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Selanjutnya pada revisi UU No. 19 Tahun 2016, dijelaskan bahwa ketentuan pada
pasal 27 ayat (3) merupakan delik aduan.
4. Pemerasan dan
Pengancaman
Orang yang melakukan
pemerasan dan pengancaman juga berpeluang dijerat pasal 27 ayat (4) UU ITE.
Hukumannya adalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
5. Berita Bohong
Berita bohong juga
dilarang dalam pasal 28 ayat (1) UU ITE yang berbunyi bahwa setiap Orang dengan
sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang
mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.
Bagi para pelaku
penyebar berita bohong bakal dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun
dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
6. Ujaran Kebencian
Orang yang menyebarkan
informasi dengan tujuan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan
individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama,
ras, dan antargolongan (SARA) juga merupakan perbuatan yang dilarang dalam
pasal 28 ayat (2) UU ITE.
Hukuman pelaku ujaran
kebencian sebagaimana dijelaskan pada pasal 28 ayat (2) adalah dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
7. Teror Online
Pada pasal 29 UU ITE
mengatur perbuatan teror online yang dilarang. Pasal ini bakal menjerat setiap
orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang
ditujukan secara pribadi.
Hukuman bagi pelaku
teror online yang bersifat menakut-nakuti orang lain dengan adalah pidana
penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00
(tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Perbuatan
Lain yang Dilarang UU ITE
·
Mengakses, mengambil, dan meretas sistem
elektronik milik orang lain dengan cara apapun (pasal 30)
·
Melakukan intersepsi atau penyadapan
terhadap sistem elektronik milik orang lain dari publik ke privat dan
sebaliknya (pasal 31)
·
Mengubah, merusak, memindahkan ke tempat
yang tidak berhak, menyembunyikan informasi atau dokumen elektronik, serta
membuka dokumen atau informasi rahasia (pasal 32)
·
Mengganggu sistem elektronik (pasal 33)
·
Menyediakan perangkat keras atau perangkat
lunak, termasuk sandi komputer dan kode akses untuk pelanggar larangan yang
telah disebutkan (pasal 34)
· Pemalsuan dokumen elektronik dengan cara
manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, dan pengrusakan (pasal 35).
Pelaksanaan
UU ITE di Kehidupan Bermasyarakat
Semua transaksi dan
sistem elektronik serta perangkat pendukung memperoleh perlindungan hukum
Masyarakat mampu
memaksimalkan potensi ekonomi secara digital
Peningkatan potensi
pariwisata melalui E-tourism dengan mempermudah penggunaan teknologi informasi
Trafik internet yang
tersedia di Indonesia dimanfaatkan untuk kemajuan masyarakat dengan cara
membuat konten edukasi dan konten-konten bermanfaat lainnya
Produk-produk ekspor
diterima tepat waktu yang membuat potensi kreatif masyarakat bisa lebih
maksimal untuk bersaing dengan negara lain.
Dampak
Negatif UU ITE
Menurut kajian dari
Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI Vol. XII No.16/II/Puslit/Agustus/2020,
setidaknya sudah ada 271 kasus yang dilaporkan ke polisi usai disahkannya UU
No. 16 Tahun 2016 yang merevisi UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE. Keberadaan
pasal multitafsir menjadi salah satu penyebab utama maraknya pelaporan
tersebut.
Ada 3 pasal yang paling
sering dilaporkan, yakni pasal 27, 28, dan 29. Pasal-pasal tersebut dianggap
mengandung ketidakjelasan rumusan sehingga berpotensi mengekang kebebasan
berekspresi masyarakat dan dimanfaatkan untuk balas dendam sehingga mencederai
tujuan hukum UU ITE.
Merujuk pada situs
registrasi Mahkamah Agung, ada 508 perkara di pengadilan yang menggunakan UU
ITE sepanjang 2011-2018. Kasus terbanyak adalah pidana yang berhubungan dengan
penghinaan dan pencemaran nama baik, sebagaimana diatur pasal 27 ayat (3) UU
ITE. Selanjutnya adalah kasus ujaran kebencian yang tertera pada pasal 28 ayat
(2) UU ITE.
Pasal-pasal tersebut
dikenal dengan sebutan pasal karet. Pasal karet diartikan sebagai pasal yang
tafsirannya sangat subjektif dari penegak hukum ataupun pihak lainnya sehingga
bisa menimbulkan tafsiran yang beragam alias multitafsir. Pada akhirnya,
kebebasan berekspresi masyarakat Indonesia terancam. Berikut beberapa dampak negatif UU ITE:
Membatasi kebebasan
berpendapat, terutama dalam beropini dan memberikan kritik
Menimbulkan
kesewenang-wenangan para penegak hukum dalam menentukan orang yang tersandung
UU ITE bersalah dan layak dipidanakan, tanpa memilah dan memilih unsur pasal
mana yang dilanggar
Menjadi instrumen
sebagian kelompok dalam rangka balas dendam, bahkan menjadi senjata untuk
menjebak lawan politik
Kurang menjamin
kepastian hukum karena putusan terkait pasal-pasal multitafsir menjadi beragam
bahkan bertolak belakang
Memicu keresahan dan
perselisihan masyarakat yang dengan mudah melaporkan kepada penegak hukum dan
menambah sumber konflik antara penguasa dan anggota masyarakat
Tidak efektif karena
beberapa pasal merupakan duplikasi aturan KUHP, seperti Pasal 27 ayat (3) UU
ITE terkait penghinaan dan pencemaran nama baik telah diatur dalam Pasal 310
dan 311 KUHP.
Itulah penjelasan
lengkap mengenai apa itu UU ITE. Meski sudah mengalami revisi dengan
disahkannya UU No. 19 Tahun 2016 yang mengubah UU No. 11 Tahun 2008, masih ada
beberapa kekurangan dan dampak negatif yang perlu terus diperbaiki agar UU ITE
tidak disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Sabtu, 01 Oktober 2022
Officium Nobile
PATRONUS tidak membayangkan
bahwa peran yang dilakoninya saat itu akan menjadi satu profesi yang sangat
berpengaruh dalam konfigurasi hukum dunia serta berpengaruh terhadap polarisasi
politik, ekonomi, dan budaya saat ini. Mungkin niat Patronus saat itu hanya
ingin menunjukkan kedermawanan sosial dan memperkuat pengaruhnya dalam sistem
kekuasaan dan politik, guna menjadi penyeimbang politik saat itu. Jauh sebelum
tahun Masehi, Patronus tokoh dan pemuka pada saat itu mengambil peran menjadi
advokat pertama di dunia. Ia mengenalkan sistem pembelaan dari bentuk peradilan
yang berbeda dari sebelumnya.
Pada zaman Romawi Kuno,
Patronus menjadi sandaran dan harapan publik untuk mendapatkan keadilan atas
sengketa ekonomi, keluarga, properti ataupun yang bersifat pidana. Motifnya
saat itu bukanlah profit, namun bagaimana dapat mengumpulkan power dan pengaruh
di tengah masyarakat untuk menyeimbangi kekuasaan serta kedermawanan. Seiring
waktu masyarakat pada saat itu sudah mulai mengenal advokatus yang kemudian
semakin popular hingga saat ini dengan istilah advokat. Nama Patronus pun
kemudian terelaborasi dalam diskursus dan terminologi ilmu sosial, ekonomi, dan
politik dalam masyarakat saat ini yang sering disebut patron klien.
Patron klien adalah sebuah
terminologi hubungan saling ketergantungan antara struktur patronase dengan
klien, baik dalam kepentingan hukum, politik, atau sosial budaya. Advokat dan
proses sejarahnya tidak bisa dilepaskan dari sistem sosial politik, dan
memiliki peran dalam mendesain sistem dan struktur sosial. Advokat hadir ketika
sistem sosial membutuhkan instrument pengendali, pengontrol, dan penyeimbang
kekuasaan yang berkembang sesuai dengan jamannya. Berjalannya waktu, profesi
hukum ini kemudian sudah mulai memperkenalkan honorarium dalam setiap
aktivitasnya.
Peran Patronus yang kemudian
diteruskan oleh para advokatus sejak zaman Romawi Kuno sampai abad pertengahan,
sudah mulai terstruktur dan sistematis. Dinamika sosial dan kebutuhan pada
pencari keadilan memosisikan dan menjadikan para advokatus ini bekerja dalam
spirit charity. Kedermawanan ini terjadi karena para advokatus berlatar
belakang kaum terhormat dan memiliki power dalam sistem sosial pada saat itu.
Mereka melakukan pembelaan terhadap masyarakat yang membutuhkan tanpa dibayar.
Kondisi ini semakin memperkuat hubungan patron klien para pengacara saat itu
dengan klien yang dibelanya, baik secara perseorangan ataupun secara
berkelompok.
Oleh karena semangat tersebut
muncul istilah officium nobile, yaitu pekerjaan yang terhormat. Kehormatan dan
kemuliaan ini sampai saat ini masih menjadi prototype untuk para advokat.
Dengan latar belakang sejarah sedemikian itulah, lambat laun profesi advokat
dinobatkan sebagai nobile officium. Dalam bahasa Latin kita temukan kata
nobilis yang artinya orang-orang terkemuka, para bangsawan di Roma, baik
patrici maupun plebeii yang nenek-moyangnya pernah memangku jabatan-jabatan
tinggi. Nobilis juga berarti mulia, luhur, utama, yang baik, yang
sebaik-baiknya.
Ada juga kata nobilitas yang
bisa diartikan hal berdarah bangsawan, kebangsawanan, kaum bangsawan,
berpangkat tinggi, kalangan atas, keluhuran jiwa, keulungan, keunggulan,
kemuliaan. Sedangkan officium berarti jasa, kesediaan menolong, kesediaan
melayani, ketakziman. Sebagai satu pilar penegak hukum, advokat bersama dengan
institusi dan profesi penegak hukum lainnya yaitu kepolisian, penuntut umum dan
hakim memiliki tanggung jawab dalam menegakkan hukum sehingga terbentuknya
masyarakat yang tertib, demokratis dan taat hukum.
Mendiskusikan kehormatan
sebagai sebuah identitas profesi, sangat bekaitan dengan praktik profesionalisme
advokat dalam melakukan tugasnya, baik di dalam pengadilan ataupun di luar
pengadilan. Menjaga dan menjunjung tinggi kode etik dan sumpah yang sudah
diucapkan merupakan satu parameter dalam menjalankan profesi. Sesuai UU Advokat
No.18 Tahun 2003, sebagai bagian dari penegak hukum, advokat memiliki tanggung
jawab besar dan konsekwensi-konsekwensi profesi dan sosial di tengah masih
banyaknya praktik penyimpangan peradilan yang dilakukan oleh oknum-oknum
penegak hukum.
Menurut Dr Frans Hendra
Winata SH MH, officium nobile adalah pengejawantahan dari nilai-nilai
kemanusiaan (humanity) dalam arti penghormatan pada martabat kemanusiaan; nilai
keadilan (justice) dalam arti dorongan untuk selalu memberikan kepada orang apa
yang menjadi haknya; nilai kepatutan
atau kewajaran (reasonableness) sebagai upaya mewujudkan ketertiban dan
keadilan dalam masyarakat; nilai kejujuran (honesty) dalam arti adanya dorongan
kuat untuk memelihara kejujuran dan menghindari perbuatan yang curang,
kesadaran untuk selalu menghormati dan menjaga integritas dan kehormatan
profesinya; nilai pelayanan kepentingan publik (to serve public interest) dalam arti pengembangan profesi hukum
telah inherent semangat keberpihakan pada hak-hak dan kepuasan masyarakat
pencari keadilan yang merupakan konsekuensi langsung dari nilai-nilai keadilan,
kejujuran dan kredibilitas profesi.
Manifestasi dari officium
nobile ini juga menjadi self critisme para advokat dalam praktik keadvokatan
dan tata cara berorganisasi. Di tengah
krisis mentalitas dan lemahnya wibawa hukum, masyarakat dihadapkan pada
ambiguitas sosial akibat lemahnya hukum sebagai pengayom dan pelindung,
kemudian fenomena pola pikir yang
permissive terhadap perilaku korupsi dan a social lainnya yang kerap
melanggar norma dan nilai-nilai kepatutan. Advokat yang menjadi bagian dari
profesi hukum tentu saja harus mampu mengubah dan mengoreksi setiap kebijakan
dan praktik-praktik yang akan berakibat pada mundurnya kualitas peradaban.
Fungsi advokat terhadap
keadilan yang perlu mendapat perhatian adalah mewakili klien untuk mencapai
keadilan dan kepastian hukum, serta sebagai pengawal konstitusi dan moral hukum
yang berkembang di masyarakat. Selain fungsi tersebut, juga bagaimana advokat
dapat memberikan pencerahan di bidang hukum kepada masyarakat. Ini bisa
dilakukan dengan cara penyuluhan hukum, sosialisasi berbagai peraturan
perundang-undangan, dan konsultasi hukum.
Secara sosiologis keberadaan
advokat di tengah-tengah masyarakat seperti buah simalakama. Fakta yang tidak
terbantahkan bahwa keberadaan advokat sangat dibutuhkan oleh masyarakat,
khususnya masyarakat yang tersandung perkara hukum. Tetapi ada juga sebagian
masyarakat menilai bahwa keberadaan advokat dalam sistem penegakan hukum tidak
diperlukan. Penilaian negatif ini tak terlepas dari sepak terjang dari advokat
yang kadangkala dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai penegak hukum
tidak sesuai dengan harapan.
Saat ini, sangat disayangkan
sebagian kecil advokat menjadi bagian dari mafia peradilan. Tidaklah mengherankan
jika ada sebagian masyarakat menyebutkan bahwa profesi advokat merupakan
profesi sampah, bukan lagi profesi yang mulia (officium nobille).
Untuk itu diperlukan adanya
pemahaman kepada masyarakat bahwa profesi advokat bukan merupakan profesi sampah,
tetapi merupakan profesi yang mulia. Jika ada sebagian kecil advokat melakukan
penyimpangan dalam menjalan profesinya, maka hal itu bukanlah kesalahan dari
profesi advokat tetapi hanyalah oknum yang menyalahi ketentuan profesi advokat.
Jumat, 30 September 2022
Penuhi Permintaan Kapolri, Sejumlah Advokat Serahkan Novum Baru Kasus KM 50
Tim advokasi KM 50 menyambangi Mabes Polri untuk menyerahkan novum alias bukti baru kasus tewasnya enam laskar FPI pengawal Habib Rizieq Shihab.
Hal ini sekaligus menjawab tantangan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo ketika rapat kerja bersama dengan komisi III DPR pada Rabu 24 Agustus 2022 yang lalu.
“Untuk menindaklanjuti pernyataan Kapolri ini, sejumlah advokat yang terhimpun dalam 'Tim Advokasi Peristiwa KM 50' mendatangi Mabes Polri dan menyerahkan sejumlah novum (bukti baru), pada Selasa (20/9),” kata salah satu perwakilan tim advokasi peristiwa KM 50 dalam video yang diunggah akun Youtube Ahmad Khozinudin dilihat Kamis (22/9).
Mereka menyampaikan, dalam kasus KM 50 setidaknya terdapat tiga pintu untuk menemukan novum alias bukti baru, yaitu buku putih, putusan Habib Rizieq dan melakukan audit terhadap Satuan Tugas Khusus (Satgassus) Polri.
“Peristiwa sesungguhnya adalah adanya pelanggaran HAM berat, yang harus diadili dengan UU No 26/2000 tentang pengadilan HAM, sebagaimana kesimpulan dan tuntutan yang termuat dalam Buku Putih (novum),” tulis keterangan dalam unggahan Youtube itu.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sebelumnya menyampaikan bahwa, tewasnya enam laskar FPI di tol Jakarta-Cikampek KM 50 berpeluang bakal dibuka kembali kasusnya jika ada novum alias bukti baru.
Terkait dengan KM 50, ini juga saat ini juga sudah berproses di pengadilan, memang sudah ada keputusan dan kita lihat juga Jaksa saat ini sedang mengajukan banding terhadap kasus tersebut. Sehingga tentunya kami juga menunggu, namun demikian apabila ada novum baru tentunya kami akan juga memproses,” kata Kapolri saat itu.
Hal tersebut disampaikan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo kepada wartawan usai melakukan rapat dengar pendapat (RDP) bersama komisi III DPR RI, Rabu (24/8).
Entri Populer
-
Saat ini tidak ada satu bangsa pun yang tidak memiliki hukumnya sendiri. Jika dalam Bahasa Indonesia mempunyai tata bahasa, begitu juga dal...
-
Tim advokasi KM 50 menyambangi Mabes Polri untuk menyerahkan novum alias bukti baru kasus tewasnya enam laskar FPI pengawal Habib Rizieq Sh...