Jumat, 01 Maret 2024

Electoral Justice System Dalam PEMILU 2024

Indonesia merupakan sebuah negara hukum yang berlandaskan pada Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) dan menganut bentuk pemerintahan yang demokratis. Dalam menjalankan sebuah pemerintahan dengan sistem demokrasi, maka setiap orang yang merupakan bagian dari Warga Negara Indonesia (“WNI”) diberikan hak dan kewenangan untuk memilih secara langsung wakil rakyat yang akan melaksanakan amanat hak politik rakyat demi kedaulatan masyarakat Indonesia. Dengan itu, Indonesia memberlakukan sistem pemilihan umum agar dapat terwujudnya proses demokrasi yang berkeadilan bagi setiap warga Indonesia. Namun,dalam proses pelaksanaan untuk mewujudkan tujuan inilah adanya tantangan yang harus dihadapi baik oleh peserta, penyelenggara, maupun pemilih dalam pemilu, karena sengketa dan pelanggaran rentan terjadi baik dalam proses pemilu (seperti konflik yang terjadi antar peserta), maupun juga perselisihan hasil pemilu. Oleh karena itu, diperlukan penerapan sistem keadilan pemilu yang lebih mendalam. Keadilan pemilu menjadi salah satu upaya yang harus dilakukan agar dapat menjunjung tinggi perhelatan demokrasi yang sesuai dengan tujuan utama seluruh warga negara Indonesia dengan sistem keadilan pemilu yang harus ditinjau secara berkala. Tidak jarang dijumpai berbagai problematika pada setiap penyelenggaraan Pemilu, namun problematika utama dari seluruh permasalahan dalam pemilu adalah berkaitan dengan keadilan. Keadilan pemilu menjadi suatu harapan yang ingin diwujudkan dalam setiap penyelenggaraan pemilu atau yang dewasa ini dikenal dengan electoral justice system. Electoral justice merupakan instrumen penting untuk menegakkan hukum dan menjamin sepenuhnya penerapan prinsip demokrasi melalui pelaksanaan pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Electoral justice system diwujudkan untuk mencegah dan mengidentifikasi permasalahan pada pemilu, sekaligus sebagai sarana dan mekanisme untuk membenahi permasalahan tersebut. Kendala dalam penanganan tindak pidana Pemilu serta menemukan basis argumentasi yang ideal untuk digunakan sebagai perbaikan terhadap penanganan tindak pidana Pemilu. Penanganan pelanggaran tindak pidana Pemilu saat ini dipengaruhi oleh problematika subtansi dan struktur. Dari sisi substansi, terdapat beberapa pasal yang mengatur Unsur-unsur yang sulit dibuktikan semisal pasal terkait politik uang, mahar politik, dan kampanye luar jadwal, sedangkan dari sisi struktur, keberadaan sentra penegakan hukum terpadu cenderung saling berbeda pandangan dalam proses penanganan pelanggaran tindak pidana Pemilu, yang berdampak pada tidak dilanjutkanya penanganan pelanggaran tindak pidana Pemilu. Di samping itu pula, dalam terjadi pergantian personil penyidik dan penuntut di saat proses penanganan pelanggaran tengah berjalan. Penelitian ini merupakan penelitian normatif. Adapun hasil penelitian memberikan gambaran yakni redesain terhadap penanganan pelanggaran tindak pidana Pemilu dilakukan dengan dua pendekatan yakni pertama, Pasal 492, Pasal 494, Pasal 495 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 513, Pasal 515, Pasal 518, Pasal 545. Kedua, redesain terhadap penanganan tindak pidana Pemilu melalui dengan memberlakukan konsep ketentuan Pasal 486 ayat (2) dan ayat (4) secara tegas pada pola penanganan tindak pidana Pemilu oleh Sentra Gakkumdu dengan menempatkan rentang kendali penghentian proses penyidikan dan penuntutan melalui instrument hukum yang dikeluarkan oleh Bawaslu.

Kamis, 12 Oktober 2023

ICE COLD, Murder, Coffe and Jessica Wongso

Di tengah gaduh kasus kematian Wayan Mirna Salihin pasca-film dokumenter Netflix, 'Ice Cold', Mahkamah Agung (MA) melansir putusan peninjauan kembali (PK) yang diajukan Jesscia Kumala. Hasilnya, PK Jessica ditolak sehingga Jessica dinyatakan bersalah di semua tingkatan, yaitu PN Jakpus, banding, kasasi, dan PK. "Rangkaian putusan sejak tingkat banding dan kasasi menyatakan Terpidana (Jessica--red) telah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana... sehingga dapat disimpulkan matinya Mirna adalah sebagai akibat perbuatan Terdakwa/pemohon Peninjauan Kembali (Jessica--red)," demikian bunyi putusan perkara Nomor 69 PK/Pid.Sus/2018 yang dilansir website MA, Senin (9/10/2023). Putusan itu diketok oleh ketua majelis Suhadi dengan anggota Sofyan Sitompul dan Sri Murwahyuni. Dengan ditolaknya PK Jessica, secara hukum, perempuan kelahiran 9 Oktober 1988 itu adalah pembunuh Mirna dan harus menjalani hukuman 20 tahun penjara. "Membebankan kepada terpidana untuk membayar biaya perkara Rp 2.500," ujar majelis PK. Berikut ini pertimbangan MA yang menolak PK Jessica: Bahwa alasan peninjauan kembali Pemohon Peninjauan Kembali / Terpidana tidak dapat dibenarkan karena putusan yang dimohonkan peninjauan kembali tersebut tidak salah dalam menerapkan hukum, putusan Judex Facti Pengadilan Negeri yang dikuatkan oleh putusan Judex Facti Pengadilan Tinggi dan terhadap putusan Pengadilan Tinggi tersebut Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan kasasi, permohonan kasasi Pemohon Peninjauan Kembali ditolak oleh Majelis Kasasi, dengan demikian putusan yang dimohonkan peninjauan kembali adalah putusan yang menentukan perbuatan Terdakwa telah terbukti melakukan perbuatan "Pembunuhan Berencana. Bahwa rangkaian putusan sejak tingkat pertama hingga tingkat banding dan kasasi menyatakan Terpidana telah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana, dalam putusan Pengadilan Negeri telah mempertimbangkan unsur-unsur dakwaan Penuntut Umum secara cermat, jelas dan lengkap dengan didasarkan pada fakta hukum yang terungkap di persidangan yang diperoleh dari keterangan saksi-saksi, keterangan para Ahli dan barang-barang bukti serta visum et repertum sehingga dapat disimpulkan matinya Mirna adalah sebagai akibat perbuatan Terdakwa / Pemohon Peninjauan Kembali; Bahwa setelah mempelajari dan meneliti memori peninjauan kembali Pemohon Peninjauan Kembali, pendapat Jaksa atas permohonan peninjauan kembali terhadap putusan Nomor 498 K/PID/2017 tanggal 21 Juni 2017 juncto putusan Nomor 393/PID/2016/PT. DKI tanggal 7 Maret 2017 juncto Nomor 777/Pid.B/2016/PN.JKT.PST tanggal 27 Oktober 2016 atas nama Pemohon Peninjauan Kembali / Terpidana, putusan Judex Facti maupun putusan Judex Juris, bahwa substansi dari alasan peninjauan kembali Pemohon Peninjauan Kembali adalah mengulang kembali materi yang telah dikemukakan Pemohon Peninjauan Kembali dalam materi eksepsi, pembelaan diri, duplik, memori banding dan memori kasasi Pemohon Peninjauan Kembali yang semuanya telah dimuat dan dipertimbangkan dengan cermat, jelas serta lengkap dalam pembuktian unsur-unsur dakwaan dalam putusan Judex Facti Pengadilan Negeri yang telah menyatakan Pemohon Peninjauan Kembali / Terpidana terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana "Pembunuhan Berencana", putusan Judex Facti Pengadilan Negeri tersebut telah dikuatkan oleh putusan Judex Facti Pengadilan Tinggi dan terhadap putusan Judex Facti Pengadilan Tinggi tersebut Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan upaya hukum kasasi yang kemudian putusan kasasi menolak permohonan kasasi Terpidana / Pemohon Peninjauan Kembali; Bahwa bertolak dari putusan Judex Facti dan Judex Juris tersebut, alasan Pemohon Peninjauan Kembali / Terpidana yang substansinya merupakan pengulangan dari alasan Pemohon Peninjauan Kembali dalam proses pemeriksaan tingkat pertama, banding dan kasasi yang semuanya sudah dipertimbangkan dengan benar dan tepat; Bahwa alasan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali / Terpidana tidak dapat mementahkan atau menghapus perbuatan dan kesalahan Pemohon Peninjauan Kembali Terpidana sebagai pelaku pembunuhan berencana a quo dan putusan yang dimohonkan peninjauan kembali tidak ditemukan adanya kekhilafan Hakim atau kekeliruan yang nyata sehingga dengan demikian permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali /Terpidana ditolak. Sumber : DetikNews.com

Rabu, 03 Mei 2023

Hukum Digital Dan Keamanan Digital

Perbedaan Hukum Digital dan Keamanan Digital, memiliki dua pengertian yakni hukum digital itu sendiri, dan keamanan digital. Mari kita kupas satu persatu untuk mengetahui perbedaan spesifik antara keduannya. Hukum digital merupakan hukum yang mengatur etiket penggunaan teknologi dalam masyarakat. Warga digital perlu menyadari bahwa mencuri ataupun merusak pekerjaan, data diri, maupun properti daring orang lain merupakan perbuatan yang melanggar hukum. Contoh perbuatan yang melanggar hukum antara lain: meretas informasi atau website, mengunduh musik ilegal, plagiarisme, membuat virus, mengirim-kan spam, ataupun mencuri identitas orang lain. Hukum siber atau hukum digital (cyber law) yang ada di Indonesia sendiri dapat dikategorikan menjadi 5 aspek besar yakni. Aspek hak cipta Adalah hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengatur penggunaan hasil penuangan gagasan atau informasi tertentu. Pada dasarnya, hak cipta merupakan “hak untuk menyalin suatu ciptaan”. Hak cipta dapat juga memungkinkan pemegang hak tersebut untuk membatasi penggandaan tidak sah atas suatu ciptaan. Pada umumnya pula, hak cipta memiliki masa berlaku tertentu yang terbatas. Aspek merek dagang Merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya Aspek fitnah dan pencemaran nama baik Aspek privasi Aspek yurisdiksi dalam ruang siber Jebakan di dunia digital juga semakin terbuka lebar. Isu utamanya adalah keamanan cyber alias cybersecurity. Situasi ini mirip dengan upaya menjawab pertanyaan, “Mana yang lebih dulu, telur atau ayam?”. Bila kita tidak mengunggah data apapun ke dunia cyber, berarti tak perlu melakukan tindakan pengamanan apapun atau mengkhawatirkan sesuatu. Di sisi lain, hal tersebut tidak mungkin karena manusia makin bergantung pada kecepatan dan kenyamanan menggunakan aplikasi walaupun ada harga yang harus dibayar. Banyak pengguna yang secara sukarela menyerahkan informasi pribadi mereka agar tidak perlu menunggu meski hanya beberapa detik saja. Ini luar biasa, hingga pengguna sadar bahwa sharing economy berarti seluruh ekosistem yang melibatkan perangkat dan data yang melakukan otentikasi saling terhubung satu sama lain. Kekhawatiran seputar cybersecurity sudah berlangsung sangat lama. Tapi belakangan ini menjadi pokok bahasan di hampir setiap diskusi, baik di media maupun sosial media. Ancaman keamanan cyber masih membombardir kita setiap hari. Mengingat penggunaan mobile sangat tinggi dan lebih dari 50% penduduk Indonesia telah menggunakan internet, berikut beberapa tips untuk mengelola keamanan cyber pribadi: Langganan layanan audit digital Sebanyak 49% generasi milenial mengklaim mereka akan lebih produktif jika bekerja dari rumah. Sebab itulah aplikasi harus dipastikan bekerja dengan lancar dalam perangkat apapun, menyediakan kontak yang konsisten antara file dan para pengguna yang saling berkolaborasi. Sediakan tools untuk membuat password yang kuat dan aman Kita selalu diingatkan untuk memperkuat password yang kita pakai. Nyatanya pada 2017 saja, nasihat ini sering diabaikan. SplashData, perusahaan pencipta aplikasi manajemen password dan keamanan, melakukan riset password terburuk sepanjang 2017 berdasarkan lebih dari lima juta password yang bocor. Kelola password pribadi Setelah memiliki password yang unik dan kuat untuk setiap layanan, ditambah lapis ekstra MFA, bagaimana cara mengamankan password tersebut? Penyumbang terbesar terhadap serangan phising adalah password fatigue, yakni kelelahan karena harus mengingat banyak password. Gunakan layanan cloud Selagi membahas tentang cloud, F5 baru-baru ini melansir laporan State of Application Delivery, yang mengungkapkan bahwa 84% responden di Asia Pasifik melaporkan penggunaan beberapa layanan cloud pada waktu bersamaan. Phishing bersifat pribadi Studi 2016 Cost of Data Breach Study oleh Ponemon Institute menyebutkan, mayoritas pembobolan data terjadi karena tindakan karyawan yang sebenarnya tidak berniat merugikan perusahaan. Dari 874 insiden, 568 disebabkan kelalaian karyawan atau kontraktor. Sebanyak 85 insiden disebabkan pihak luar yang memang mencuri kredensial dan 191 lainnya oleh karyawan dan penjahat cyber yang berniat jahat. Terdapat hubungan yang kompelsitas antara hukum digital dan keamanan digital, keduanya adalah pelengkap untuk melindungi para pengguna jasa digital. perbedaannya dalah bahwa hukum digital berkaitang dengan aspek hukuman atas tindakan pelanggaran hukum terhadap penggunaan sarana digital. sedangkan keamanan digital merupakan mekanisme perlindungan awal yang dilakukan oleh pengguna jasa layanan digital. Hukum digital menjamin perlindungan hukum atas segala transaksi digital yang sifatnya legal. sedangkan bagi para pelaku transaksi digital yang ilegal dan dinyatakan melanggar hukum akan dikenai hukuman sesuai dengan jenis pelanggaran yang dilakukan. kolaborasi antara keamanan digital dan hukum digital akan memberikan perlindungan yang optimal khususnya bagi para pengguna jasa layanan digital.
By : Noviyanti Fathan , S.H

Senin, 14 November 2022

Mengenal Judex Factie dan Judex Jurist dalam Praktik Peradilan

Judex factie dan judex jurist adalah sebutan proses peradilan di tingkat pertama dan banding serta proses kasasi di MA. Dalam perkembangannya, pemeriksaan kasasi tidak hanya memeriksa masalah penerapan hukum, tetapi juga mengadili fakta yang telah diperiksa pengadilan tingkat pertama dan banding. Sistem peradilan di Indonesia mengenal tiga tingkatan pengadilan yakni pengadilan tingkat pertama, pengadilan tingkat banding, dan pengadilan tingkat kasasi. Untuk penyebutan tiga tingkatan proses peradilan ini dikenal dua istilah judex factie dan judex jurist. Judex factie merupakan hakim yang memeriksa fakta persidangan, apakah dari fakta itu terbukti atau tidak perkara tersebut. Sedangkan, judex jurist merupakan hakim yang memeriksa penerapan hukum, apakah ada kekeliruan dalam penerapan hukum di pengadilan judex factie. Kedua istilah itu berasal dari bahasa latin. Judex factie artinya hakim-hakim (yang memeriksa) fakta dan judex jurist artinya hakim-hakim (yang memeriksa) hukum. Pengadilan Negeri adalah pengadilan tingkat pertama yang memeriksa dan memutus perkara sebagai judex factie. Pengadilan Tinggi ialah pengadilan banding terhadap perkara yang diputus Pengadilan Negeri untuk memeriksa ulang bukti-bukti dan fakta hukum yang terjadi. Dengan demikian, Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi disebut sebagai pengadilan judex factie. Lalu, apa dan bagaimana judex jurist? Judex jurist merupakan pengadilan tingkat kasasi atau peninjauan kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA) yang tidak lagi memeriksa fakta dan bukti-bukti perkara. MA hanya memeriksa penerapan hukum terhadap fakta yang sudah ditentukan/diputuskan pengadilan judex factie. Pengadilan judex jurist di MA ini tidak memeriksa fakta peristiwa hukum atau perbuatan hukum, tapi menilai benar atau tidaknya penerapan hukum dalam putusan judex factie. Hal ini dijelaskan oleh A. Mukti Arto dalam bukunya berjudul Pembaruan Hukum Islam melalui Putusan Hakim (2015: 43). Menurut Moh. Amir Hamzah dalam bukunya berjudul Hukum Acara Perdata Peradilan Tingkat Banding (2013: 5), menyebutkan fungsi judex factie melalui beberapa tahapan pemeriksaan yaitu merumuskan fakta, mencari hubungan sebab akibat, dan mereka-reka probabilitas. Menurut Pasal 6 UU No.20 Tahun 1947 tentang Pengadilan Peradilan Ulangan, peradilan tingkat banding merupakan peradilan judex factie tingkat kedua. Pasal 6 UU No.20 Tahun 1947 disebutkan “Dari putusan-putusan Pengadilan Negeri di Jawa dan Madura tentang perkara perdata, yang tidak ternyata, bahwa besarnya harga harga gugat ialah seratus rupiah atau kurang, oleh salah satu dari pihak-pihak yang berkepentingan diminta, supaya pemeriksaan perkara diulangi oleh Pengadilan Tinggi yang berkuasa dalam daerah masing-masing.” Dijelaskan pula dalam Pasal 15 ayat (1) “Pengadilan Tinggi dalam pemeriksaan ulangan memeriksa dan memutuskan dengan tiga hakim, jika dipandang perlu, dengan mendengarkan sendiri kedua belah pihak atau saksi.” Kemudian melalui Putusan MA No.951 K/Sip/1973 tanggal 9 Oktober 1975 disebutkan “Cara pemeriksaan perkara perdata di tingkat banding-pengadilan tinggi yang hanya memeriksa keberatan-keberatan yang diajukan oleh pembanding saja adalah salah. Seharusnya Majelis Hakim Banding juga melakukan pemeriksaan ulang atas seluruh perkara tersebut baik faktanya maupun penerapan hukumnya yang telah diputuskan oleh hakim (tingkat, red) pertama.” Meskipun pengadilan banding disebut peradilan judex factie tingkat kedua, tetapi dalam praktik beracara dalam proses pemeriksaan perkara yang telah berjalan berpedoman pada Pasal 357 Reglement op de Burgelijke Rechtsvordering (Rv). Pasal 357 Rv menyebutkan “Perkara kemudian oleh Hakim Banding yang bersangkutan tanpa banyak proses diputus berdasarkan surat-surat saja, tetapi ia berwenang sebelum menjatuhkan putusan akhir untuk memberikan putusan persiapan atau putusan sela.” Menurut M. Yahya Harahap, alasan pengadilan tingkat banding menjadikan Pasal 357 Rv sebagai pedoman karena penerapannya dianggap sangat bermanfaat menjadi landasan beracara. Bila dicermati lebih mendalam tidak berjalanya judex factie di peradilan tingkat banding sebagaimana diatur Pasal 6, Pasal 15 ayat (1) UU Pengadilan Peradilan Ulangan dan yurisprudensi MA No.951 K/Sip/1973, No.194 K/Sip/1973, dan No.3136 K/Sip/1983 karena dalam ketentuan tersebut tidak ada ketentuan khusus yang mengatur perihal tata cara pemeriksaan perkara di pengadilan tingkat banding. Pada akhirnya pengadilan tingkat banding menggunakan Pasal 357 Rv sebagai dasar pelaksanaan praktik beracara di pengadilan tingkat banding. Dalam buku karangan Machmud Raschimi dkk (2015) berjudul Kewenangan Mahkamah Agung Sebagai Judex Jurist Dalam Menilai Fakta Untuk Mewujudkan Keadilan, secara yuridis formal penilaian fakta-fakta dan masalah berat ringannya hukuman yang dijatuhkan tidak termasuk wewenang MA, tapi wewenang Pengadilan Negeri (PN) atau Pengadilan Tinggi (PT). Kewenangan MA mengadili perkara kasasi hanya terbatas pada menyelidiki apakah putusan bertentangan dengan penerapan hukum atau pengadilan di bawahnya telah melampaui batas-batas kewenangan atau tidak. Dalam Kertas Kebijakan Pengurangan Arus Perkara ke MA yang diterbitkan LeIP (2017), peradilan kasasi dan peninjauan kembali, Mahkamah Agung idealnya melaksanakan fungsinya sebagai judex jurist. Maksudnya, MA tidak lagi memeriksa fakta dalam proses penanganan perkara. Perkara yang diperiksa adalah putusan atau penetapan yang bermasalah secara penerapan hukum, sehingga MA dikenal dengan pengadian judex jurist. Namun dalam perkembangannya, mengutip artikel Premium Stories berjudul “Problem Judex Factie Dalam Penanganan Kasasi di MA”, pemeriksaan kasasi tidak hanya memeriksa masalah penerapan hukum, tetapi juga mengadili fakta yang telah diperiksa pengadilan tingkat pertama dan banding. Kata lain, MA terkadang menempatkan dirinya sebagai pengadilan judex factie. Hal ini dapat terlihat dalam sejumlah putusan kasasi perkara pidana korupsi yang menjatuhkan hukuman lebih berat. Persoalan itu ditegaskan Sebastian Pompe dalam bukunya berjudul Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung (2012: 314), dijelaskan permasalahan mendasar yang sangat berpengaruh tingginya arus perkara di MA adalah penyimpangan praktik kasasi di Indonesia yang lebih mengarah pada judex factie ketimbang judex jurist. Menurutnya, penyimpangan praktik kasasi ini terjadi sejak lama, bahkan sejak pertama kali MA berdiri.

Kamis, 13 Oktober 2022

Mengenal UU ITE

 

UU ITE menjadi trending dan ramai diperbincangkan menyusul kasus viral pencuri coklat di Alfamart yang malah mengancam pegawai minimarket tersebut dengan UU ITE. Kasus ini terjadi di Alfamart Sampora, Cisauk, Tangerang pada 13 Agustus 2022. Lantas, sebenarnya apa itu UU ITE dan apa saja yang diatur di dalamnya?

Pada kasus pegawai Alfamart yang memergoki pencuri cokelat, dia malah diancam dengan UU ITE dan dipaksa membuat video permintaan maaf. Ancaman UU ITE tersebut dibenarkan oleh manajemen Alfamart. Kasus viral ini bahkan sampai melibatkan pengacara kondang Hotman Paris yang bersedia membela pihak Alfamart.

Apa Itu UU ITE?

Sebelum membahas lebih dalam mengenai perdebatan penggunaan UU ITE, mari mengenal pengertian dari produk hukum satu ini. Sederhananya, UU ITE atau Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah undang-undang yang mengatur mengenai informasi dan transaksi elektronik

UU ITE pertama kali disahkan melalui UU No. 11 Tahun 2008 sebelum akhirnya direvisi dengan UU No. 19 Tahun 2016. Berdasarkan UU ITE, informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Sementara, transaksi elektronik merupakan perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya. Aturan ini berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur UU ITE, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.

 

Manfaat UU ITE

Salah satu pertimbangan pembentukan UU ITE adalah pemerintah perlu mendukung pengembangan teknologi informasi melalui infrastruktur hukum dan pengaturannya sehingga pemanfaatan teknologi informasi dilakukan secara aman untuk mencegah penyalahgunaannya dengan memperhatikan nilai-nilai agama dan sosial budaya masyarakat Indonesia.

Sementara, secara umum kehadiran UU ITE memiliki beberapa manfaat jika dilaksanakan dengan benar. Sebagai UU yang mengatur informasi dan transaksi elektronik di Indonesia, berikut beberapa manfaat UU ITE:

Menjamin kepastian hukum untuk masyarakat yang melakukan transaksi elektronik

Mendorong adanya pertumbuhan ekonomi di Indonesia

Salah satu upaya mencegah adanya kejahatan yang dilakukan melalui internet

Melindungi masyarakat dan pengguna internet lainnya dari berbagai tindak kejahatan online.

 

Perbuatan yang Dilarang UU ITE

UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menjelaskan secara rinci apa saja perbuatan yang dilarang. Bagi mereka yang melanggar UU ITE berpotensi mendapat hukuman berupa denda hingga kurungan penjara. Berikut beberapa perbuatan yang dilarang UU ITE:

1. Menyebarkan Video Asusila

Perbuatan pertama yang dilarang dalam UU ITE adalah orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Ini diatur dalam pasal 27 ayat (1) UU ITE.

Setiap orang yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

2. Judi Online

Selanjutnya, pasal 27 ayat (2) UU ITE memuat larangan perbuatan yang bermuatan perjudian. Hukuman untuk mereka yang melanggar adalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

3. Pencemaran Nama Baik

Pasal 27 ayat (3) UU ITE juga mengatur tentang pencemaran nama baik. Pelaku yang dijerat dengan pasal ini bakal dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Selanjutnya pada revisi UU No. 19 Tahun 2016, dijelaskan bahwa ketentuan pada pasal 27 ayat (3) merupakan delik aduan.

4. Pemerasan dan Pengancaman

Orang yang melakukan pemerasan dan pengancaman juga berpeluang dijerat pasal 27 ayat (4) UU ITE. Hukumannya adalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

5. Berita Bohong

Berita bohong juga dilarang dalam pasal 28 ayat (1) UU ITE yang berbunyi bahwa setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.

Bagi para pelaku penyebar berita bohong bakal dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

6. Ujaran Kebencian

Orang yang menyebarkan informasi dengan tujuan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) juga merupakan perbuatan yang dilarang dalam pasal 28 ayat (2) UU ITE.

Hukuman pelaku ujaran kebencian sebagaimana dijelaskan pada pasal 28 ayat (2) adalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

7. Teror Online

Pada pasal 29 UU ITE mengatur perbuatan teror online yang dilarang. Pasal ini bakal menjerat setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.

Hukuman bagi pelaku teror online yang bersifat menakut-nakuti orang lain dengan adalah pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

Perbuatan Lain yang Dilarang UU ITE

·     Mengakses, mengambil, dan meretas sistem elektronik milik orang lain dengan cara apapun (pasal 30)

·     Melakukan intersepsi atau penyadapan terhadap sistem elektronik milik orang lain dari publik ke privat dan sebaliknya (pasal 31)

·     Mengubah, merusak, memindahkan ke tempat yang tidak berhak, menyembunyikan informasi atau dokumen elektronik, serta membuka dokumen atau informasi rahasia (pasal 32)

·     Mengganggu sistem elektronik (pasal 33)

·   
Menyediakan perangkat keras atau perangkat lunak, termasuk sandi komputer dan kode akses untuk pelanggar larangan yang telah disebutkan (pasal 34)

· Pemalsuan dokumen elektronik dengan cara manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, dan pengrusakan (pasal 35).

Pelaksanaan UU ITE di Kehidupan Bermasyarakat

Semua transaksi dan sistem elektronik serta perangkat pendukung memperoleh perlindungan hukum

Masyarakat mampu memaksimalkan potensi ekonomi secara digital

Peningkatan potensi pariwisata melalui E-tourism dengan mempermudah penggunaan teknologi informasi

Trafik internet yang tersedia di Indonesia dimanfaatkan untuk kemajuan masyarakat dengan cara membuat konten edukasi dan konten-konten bermanfaat lainnya

Produk-produk ekspor diterima tepat waktu yang membuat potensi kreatif masyarakat bisa lebih maksimal untuk bersaing dengan negara lain.

Dampak Negatif UU ITE

Menurut kajian dari Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI Vol. XII No.16/II/Puslit/Agustus/2020, setidaknya sudah ada 271 kasus yang dilaporkan ke polisi usai disahkannya UU No. 16 Tahun 2016 yang merevisi UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE. Keberadaan pasal multitafsir menjadi salah satu penyebab utama maraknya pelaporan tersebut.

Ada 3 pasal yang paling sering dilaporkan, yakni pasal 27, 28, dan 29. Pasal-pasal tersebut dianggap mengandung ketidakjelasan rumusan sehingga berpotensi mengekang kebebasan berekspresi masyarakat dan dimanfaatkan untuk balas dendam sehingga mencederai tujuan hukum UU ITE.

Merujuk pada situs registrasi Mahkamah Agung, ada 508 perkara di pengadilan yang menggunakan UU ITE sepanjang 2011-2018. Kasus terbanyak adalah pidana yang berhubungan dengan penghinaan dan pencemaran nama baik, sebagaimana diatur pasal 27 ayat (3) UU ITE. Selanjutnya adalah kasus ujaran kebencian yang tertera pada pasal 28 ayat (2) UU ITE.

Pasal-pasal tersebut dikenal dengan sebutan pasal karet. Pasal karet diartikan sebagai pasal yang tafsirannya sangat subjektif dari penegak hukum ataupun pihak lainnya sehingga bisa menimbulkan tafsiran yang beragam alias multitafsir. Pada akhirnya, kebebasan berekspresi masyarakat Indonesia terancam. Berikut beberapa dampak negatif UU ITE:

Membatasi kebebasan berpendapat, terutama dalam beropini dan memberikan kritik

Menimbulkan kesewenang-wenangan para penegak hukum dalam menentukan orang yang tersandung UU ITE bersalah dan layak dipidanakan, tanpa memilah dan memilih unsur pasal mana yang dilanggar

Menjadi instrumen sebagian kelompok dalam rangka balas dendam, bahkan menjadi senjata untuk menjebak lawan politik

Kurang menjamin kepastian hukum karena putusan terkait pasal-pasal multitafsir menjadi beragam bahkan bertolak belakang

Memicu keresahan dan perselisihan masyarakat yang dengan mudah melaporkan kepada penegak hukum dan menambah sumber konflik antara penguasa dan anggota masyarakat

Tidak efektif karena beberapa pasal merupakan duplikasi aturan KUHP, seperti Pasal 27 ayat (3) UU ITE terkait penghinaan dan pencemaran nama baik telah diatur dalam Pasal 310 dan 311 KUHP.

Itulah penjelasan lengkap mengenai apa itu UU ITE. Meski sudah mengalami revisi dengan disahkannya UU No. 19 Tahun 2016 yang mengubah UU No. 11 Tahun 2008, masih ada beberapa kekurangan dan dampak negatif yang perlu terus diperbaiki agar UU ITE tidak disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.

Sabtu, 01 Oktober 2022

Officium Nobile

 


PATRONUS tidak membayangkan bahwa peran yang dilakoninya saat itu akan menjadi satu profesi yang sangat berpengaruh dalam konfigurasi hukum dunia serta berpengaruh terhadap polarisasi politik, ekonomi, dan budaya saat ini. Mungkin niat Patronus saat itu hanya ingin menunjukkan kedermawanan sosial dan memperkuat pengaruhnya dalam sistem kekuasaan dan politik, guna menjadi penyeimbang politik saat itu. Jauh sebelum tahun Masehi, Patronus tokoh dan pemuka pada saat itu mengambil peran menjadi advokat pertama di dunia. Ia mengenalkan sistem pembelaan dari bentuk peradilan yang berbeda dari sebelumnya.

Pada zaman Romawi Kuno, Patronus menjadi sandaran dan harapan publik untuk mendapatkan keadilan atas sengketa ekonomi, keluarga, properti ataupun yang bersifat pidana. Motifnya saat itu bukanlah profit, namun bagaimana dapat mengumpulkan power dan pengaruh di tengah masyarakat untuk menyeimbangi kekuasaan serta kedermawanan. Seiring waktu masyarakat pada saat itu sudah mulai mengenal advokatus yang kemudian semakin popular hingga saat ini dengan istilah advokat. Nama Patronus pun kemudian terelaborasi dalam diskursus dan terminologi ilmu sosial, ekonomi, dan politik dalam masyarakat saat ini yang sering disebut patron klien.

Patron klien adalah sebuah terminologi hubungan saling ketergantungan antara struktur patronase dengan klien, baik dalam kepentingan hukum, politik, atau sosial budaya. Advokat dan proses sejarahnya tidak bisa dilepaskan dari sistem sosial politik, dan memiliki peran dalam mendesain sistem dan struktur sosial. Advokat hadir ketika sistem sosial membutuhkan instrument pengendali, pengontrol, dan penyeimbang kekuasaan yang berkembang sesuai dengan jamannya. Berjalannya waktu, profesi hukum ini kemudian sudah mulai memperkenalkan honorarium dalam setiap aktivitasnya.

Peran Patronus yang kemudian diteruskan oleh para advokatus sejak zaman Romawi Kuno sampai abad pertengahan, sudah mulai terstruktur dan sistematis. Dinamika sosial dan kebutuhan pada pencari keadilan memosisikan dan menjadikan para advokatus ini bekerja dalam spirit charity. Kedermawanan ini terjadi karena para advokatus berlatar belakang kaum terhormat dan memiliki power dalam sistem sosial pada saat itu. Mereka melakukan pembelaan terhadap masyarakat yang membutuhkan tanpa dibayar. Kondisi ini semakin memperkuat hubungan patron klien para pengacara saat itu dengan klien yang dibelanya, baik secara perseorangan ataupun secara berkelompok.

Oleh karena semangat tersebut muncul istilah officium nobile, yaitu pekerjaan yang terhormat. Kehormatan dan kemuliaan ini sampai saat ini masih menjadi prototype untuk para advokat. Dengan latar belakang sejarah sedemikian itulah, lambat laun profesi advokat dinobatkan sebagai nobile officium. Dalam bahasa Latin kita temukan kata nobilis yang artinya orang-orang terkemuka, para bangsawan di Roma, baik patrici maupun plebeii yang nenek-moyangnya pernah memangku jabatan-jabatan tinggi. Nobilis juga berarti mulia, luhur, utama, yang baik, yang sebaik-baiknya.

Ada juga kata nobilitas yang bisa diartikan hal berdarah bangsawan, kebangsawanan, kaum bangsawan, berpangkat tinggi, kalangan atas, keluhuran jiwa, keulungan, keunggulan, kemuliaan. Sedangkan officium berarti jasa, kesediaan menolong, kesediaan melayani, ketakziman. Sebagai satu pilar penegak hukum, advokat bersama dengan institusi dan profesi penegak hukum lainnya yaitu kepolisian, penuntut umum dan hakim memiliki tanggung jawab dalam menegakkan hukum sehingga terbentuknya masyarakat yang tertib, demokratis dan taat hukum.

Mendiskusikan kehormatan sebagai sebuah identitas profesi, sangat bekaitan dengan praktik profesionalisme advokat dalam melakukan tugasnya, baik di dalam pengadilan ataupun di luar pengadilan. Menjaga dan menjunjung tinggi kode etik dan sumpah yang sudah diucapkan merupakan satu parameter dalam menjalankan profesi. Sesuai UU Advokat No.18 Tahun 2003, sebagai bagian dari penegak hukum, advokat memiliki tanggung jawab besar dan konsekwensi-konsekwensi profesi dan sosial di tengah masih banyaknya praktik penyimpangan peradilan yang dilakukan oleh oknum-oknum penegak hukum.

Menurut Dr Frans Hendra Winata SH MH, officium nobile adalah pengejawantahan dari nilai-nilai kemanusiaan (humanity) dalam arti penghormatan pada martabat kemanusiaan; nilai keadilan (justice) dalam arti dorongan untuk selalu memberikan kepada orang apa yang  menjadi haknya; nilai kepatutan atau kewajaran (reasonableness) sebagai upaya mewujudkan ketertiban dan keadilan dalam masyarakat; nilai kejujuran (honesty) dalam arti adanya dorongan kuat untuk memelihara kejujuran dan menghindari perbuatan yang curang, kesadaran untuk selalu menghormati dan menjaga integritas dan kehormatan profesinya; nilai pelayanan kepentingan publik (to serve public interest) dalam arti pengembangan profesi hukum telah inherent semangat keberpihakan pada hak-hak dan kepuasan masyarakat pencari keadilan yang merupakan konsekuensi langsung dari nilai-nilai keadilan, kejujuran dan kredibilitas profesi.

Manifestasi dari officium nobile ini juga menjadi self critisme para advokat dalam praktik keadvokatan dan tata cara berorganisasi.  Di tengah krisis mentalitas dan lemahnya wibawa hukum, masyarakat dihadapkan pada ambiguitas sosial akibat lemahnya hukum sebagai pengayom dan pelindung, kemudian fenomena pola pikir yang  permissive terhadap perilaku korupsi dan a social lainnya yang kerap melanggar norma dan nilai-nilai kepatutan. Advokat yang menjadi bagian dari profesi hukum tentu saja harus mampu mengubah dan mengoreksi setiap kebijakan dan praktik-praktik yang akan berakibat pada mundurnya kualitas peradaban.

Fungsi advokat terhadap keadilan yang perlu mendapat perhatian adalah mewakili klien untuk mencapai keadilan dan kepastian hukum, serta sebagai pengawal konstitusi dan moral hukum yang berkembang di masyarakat. Selain fungsi tersebut, juga bagaimana advokat dapat memberikan pencerahan di bidang hukum kepada masyarakat. Ini bisa dilakukan dengan cara penyuluhan hukum, sosialisasi berbagai peraturan perundang-undangan, dan konsultasi hukum.

Secara sosiologis keberadaan advokat di tengah-tengah masyarakat seperti buah simalakama. Fakta yang tidak terbantahkan bahwa keberadaan advokat sangat dibutuhkan oleh masyarakat, khususnya masyarakat yang tersandung perkara hukum. Tetapi ada juga sebagian masyarakat menilai bahwa keberadaan advokat dalam sistem penegakan hukum tidak diperlukan. Penilaian negatif ini tak terlepas dari sepak terjang dari advokat yang kadangkala dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai penegak hukum tidak sesuai dengan harapan.

 

Saat ini, sangat disayangkan sebagian kecil advokat menjadi bagian dari mafia peradilan. Tidaklah mengherankan jika ada sebagian masyarakat menyebutkan bahwa profesi advokat merupakan profesi sampah, bukan lagi profesi yang mulia (officium nobille).

Untuk itu diperlukan adanya pemahaman kepada masyarakat bahwa profesi advokat bukan merupakan profesi sampah, tetapi merupakan profesi yang mulia. Jika ada sebagian kecil advokat melakukan penyimpangan dalam menjalan profesinya, maka hal itu bukanlah kesalahan dari profesi advokat tetapi hanyalah oknum yang menyalahi ketentuan profesi advokat.

Jumat, 30 September 2022

Penuhi Permintaan Kapolri, Sejumlah Advokat Serahkan Novum Baru Kasus KM 50



 Tim advokasi KM 50 menyambangi Mabes Polri untuk menyerahkan novum alias bukti baru kasus tewasnya enam laskar FPI pengawal Habib Rizieq Shihab.

Hal ini sekaligus menjawab tantangan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo ketika rapat kerja bersama dengan komisi III DPR pada Rabu 24 Agustus 2022 yang lalu.

“Untuk menindaklanjuti pernyataan Kapolri ini, sejumlah advokat yang terhimpun dalam 'Tim Advokasi Peristiwa KM 50' mendatangi Mabes Polri dan menyerahkan sejumlah novum (bukti baru), pada Selasa (20/9),” kata salah satu perwakilan tim advokasi peristiwa KM 50 dalam video yang diunggah akun Youtube Ahmad Khozinudin dilihat Kamis (22/9).

Mereka menyampaikan, dalam kasus KM 50 setidaknya terdapat tiga pintu untuk menemukan novum alias bukti baru, yaitu buku putih, putusan Habib Rizieq dan melakukan audit terhadap Satuan Tugas Khusus (Satgassus) Polri.

“Peristiwa sesungguhnya adalah adanya pelanggaran HAM berat, yang harus diadili dengan UU No 26/2000 tentang pengadilan HAM, sebagaimana kesimpulan dan tuntutan yang termuat dalam Buku Putih (novum),” tulis keterangan dalam unggahan Youtube itu.

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sebelumnya menyampaikan bahwa, tewasnya enam laskar FPI di tol Jakarta-Cikampek KM 50 berpeluang bakal dibuka kembali kasusnya jika ada novum alias bukti baru.

Terkait dengan KM 50, ini juga saat ini juga sudah berproses di pengadilan, memang sudah ada keputusan dan kita lihat juga Jaksa saat ini sedang mengajukan banding terhadap kasus tersebut. Sehingga tentunya kami juga menunggu, namun demikian apabila ada novum baru tentunya kami akan juga memproses,” kata Kapolri saat itu.

Hal tersebut disampaikan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo kepada wartawan usai melakukan rapat dengar pendapat (RDP) bersama komisi III DPR RI, Rabu (24/8).


Entri Populer