Sabtu, 01 Oktober 2022

Officium Nobile

 


PATRONUS tidak membayangkan bahwa peran yang dilakoninya saat itu akan menjadi satu profesi yang sangat berpengaruh dalam konfigurasi hukum dunia serta berpengaruh terhadap polarisasi politik, ekonomi, dan budaya saat ini. Mungkin niat Patronus saat itu hanya ingin menunjukkan kedermawanan sosial dan memperkuat pengaruhnya dalam sistem kekuasaan dan politik, guna menjadi penyeimbang politik saat itu. Jauh sebelum tahun Masehi, Patronus tokoh dan pemuka pada saat itu mengambil peran menjadi advokat pertama di dunia. Ia mengenalkan sistem pembelaan dari bentuk peradilan yang berbeda dari sebelumnya.

Pada zaman Romawi Kuno, Patronus menjadi sandaran dan harapan publik untuk mendapatkan keadilan atas sengketa ekonomi, keluarga, properti ataupun yang bersifat pidana. Motifnya saat itu bukanlah profit, namun bagaimana dapat mengumpulkan power dan pengaruh di tengah masyarakat untuk menyeimbangi kekuasaan serta kedermawanan. Seiring waktu masyarakat pada saat itu sudah mulai mengenal advokatus yang kemudian semakin popular hingga saat ini dengan istilah advokat. Nama Patronus pun kemudian terelaborasi dalam diskursus dan terminologi ilmu sosial, ekonomi, dan politik dalam masyarakat saat ini yang sering disebut patron klien.

Patron klien adalah sebuah terminologi hubungan saling ketergantungan antara struktur patronase dengan klien, baik dalam kepentingan hukum, politik, atau sosial budaya. Advokat dan proses sejarahnya tidak bisa dilepaskan dari sistem sosial politik, dan memiliki peran dalam mendesain sistem dan struktur sosial. Advokat hadir ketika sistem sosial membutuhkan instrument pengendali, pengontrol, dan penyeimbang kekuasaan yang berkembang sesuai dengan jamannya. Berjalannya waktu, profesi hukum ini kemudian sudah mulai memperkenalkan honorarium dalam setiap aktivitasnya.

Peran Patronus yang kemudian diteruskan oleh para advokatus sejak zaman Romawi Kuno sampai abad pertengahan, sudah mulai terstruktur dan sistematis. Dinamika sosial dan kebutuhan pada pencari keadilan memosisikan dan menjadikan para advokatus ini bekerja dalam spirit charity. Kedermawanan ini terjadi karena para advokatus berlatar belakang kaum terhormat dan memiliki power dalam sistem sosial pada saat itu. Mereka melakukan pembelaan terhadap masyarakat yang membutuhkan tanpa dibayar. Kondisi ini semakin memperkuat hubungan patron klien para pengacara saat itu dengan klien yang dibelanya, baik secara perseorangan ataupun secara berkelompok.

Oleh karena semangat tersebut muncul istilah officium nobile, yaitu pekerjaan yang terhormat. Kehormatan dan kemuliaan ini sampai saat ini masih menjadi prototype untuk para advokat. Dengan latar belakang sejarah sedemikian itulah, lambat laun profesi advokat dinobatkan sebagai nobile officium. Dalam bahasa Latin kita temukan kata nobilis yang artinya orang-orang terkemuka, para bangsawan di Roma, baik patrici maupun plebeii yang nenek-moyangnya pernah memangku jabatan-jabatan tinggi. Nobilis juga berarti mulia, luhur, utama, yang baik, yang sebaik-baiknya.

Ada juga kata nobilitas yang bisa diartikan hal berdarah bangsawan, kebangsawanan, kaum bangsawan, berpangkat tinggi, kalangan atas, keluhuran jiwa, keulungan, keunggulan, kemuliaan. Sedangkan officium berarti jasa, kesediaan menolong, kesediaan melayani, ketakziman. Sebagai satu pilar penegak hukum, advokat bersama dengan institusi dan profesi penegak hukum lainnya yaitu kepolisian, penuntut umum dan hakim memiliki tanggung jawab dalam menegakkan hukum sehingga terbentuknya masyarakat yang tertib, demokratis dan taat hukum.

Mendiskusikan kehormatan sebagai sebuah identitas profesi, sangat bekaitan dengan praktik profesionalisme advokat dalam melakukan tugasnya, baik di dalam pengadilan ataupun di luar pengadilan. Menjaga dan menjunjung tinggi kode etik dan sumpah yang sudah diucapkan merupakan satu parameter dalam menjalankan profesi. Sesuai UU Advokat No.18 Tahun 2003, sebagai bagian dari penegak hukum, advokat memiliki tanggung jawab besar dan konsekwensi-konsekwensi profesi dan sosial di tengah masih banyaknya praktik penyimpangan peradilan yang dilakukan oleh oknum-oknum penegak hukum.

Menurut Dr Frans Hendra Winata SH MH, officium nobile adalah pengejawantahan dari nilai-nilai kemanusiaan (humanity) dalam arti penghormatan pada martabat kemanusiaan; nilai keadilan (justice) dalam arti dorongan untuk selalu memberikan kepada orang apa yang  menjadi haknya; nilai kepatutan atau kewajaran (reasonableness) sebagai upaya mewujudkan ketertiban dan keadilan dalam masyarakat; nilai kejujuran (honesty) dalam arti adanya dorongan kuat untuk memelihara kejujuran dan menghindari perbuatan yang curang, kesadaran untuk selalu menghormati dan menjaga integritas dan kehormatan profesinya; nilai pelayanan kepentingan publik (to serve public interest) dalam arti pengembangan profesi hukum telah inherent semangat keberpihakan pada hak-hak dan kepuasan masyarakat pencari keadilan yang merupakan konsekuensi langsung dari nilai-nilai keadilan, kejujuran dan kredibilitas profesi.

Manifestasi dari officium nobile ini juga menjadi self critisme para advokat dalam praktik keadvokatan dan tata cara berorganisasi.  Di tengah krisis mentalitas dan lemahnya wibawa hukum, masyarakat dihadapkan pada ambiguitas sosial akibat lemahnya hukum sebagai pengayom dan pelindung, kemudian fenomena pola pikir yang  permissive terhadap perilaku korupsi dan a social lainnya yang kerap melanggar norma dan nilai-nilai kepatutan. Advokat yang menjadi bagian dari profesi hukum tentu saja harus mampu mengubah dan mengoreksi setiap kebijakan dan praktik-praktik yang akan berakibat pada mundurnya kualitas peradaban.

Fungsi advokat terhadap keadilan yang perlu mendapat perhatian adalah mewakili klien untuk mencapai keadilan dan kepastian hukum, serta sebagai pengawal konstitusi dan moral hukum yang berkembang di masyarakat. Selain fungsi tersebut, juga bagaimana advokat dapat memberikan pencerahan di bidang hukum kepada masyarakat. Ini bisa dilakukan dengan cara penyuluhan hukum, sosialisasi berbagai peraturan perundang-undangan, dan konsultasi hukum.

Secara sosiologis keberadaan advokat di tengah-tengah masyarakat seperti buah simalakama. Fakta yang tidak terbantahkan bahwa keberadaan advokat sangat dibutuhkan oleh masyarakat, khususnya masyarakat yang tersandung perkara hukum. Tetapi ada juga sebagian masyarakat menilai bahwa keberadaan advokat dalam sistem penegakan hukum tidak diperlukan. Penilaian negatif ini tak terlepas dari sepak terjang dari advokat yang kadangkala dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai penegak hukum tidak sesuai dengan harapan.

 

Saat ini, sangat disayangkan sebagian kecil advokat menjadi bagian dari mafia peradilan. Tidaklah mengherankan jika ada sebagian masyarakat menyebutkan bahwa profesi advokat merupakan profesi sampah, bukan lagi profesi yang mulia (officium nobille).

Untuk itu diperlukan adanya pemahaman kepada masyarakat bahwa profesi advokat bukan merupakan profesi sampah, tetapi merupakan profesi yang mulia. Jika ada sebagian kecil advokat melakukan penyimpangan dalam menjalan profesinya, maka hal itu bukanlah kesalahan dari profesi advokat tetapi hanyalah oknum yang menyalahi ketentuan profesi advokat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer