PATRONUS tidak membayangkan
bahwa peran yang dilakoninya saat itu akan menjadi satu profesi yang sangat
berpengaruh dalam konfigurasi hukum dunia serta berpengaruh terhadap polarisasi
politik, ekonomi, dan budaya saat ini. Mungkin niat Patronus saat itu hanya
ingin menunjukkan kedermawanan sosial dan memperkuat pengaruhnya dalam sistem
kekuasaan dan politik, guna menjadi penyeimbang politik saat itu. Jauh sebelum
tahun Masehi, Patronus tokoh dan pemuka pada saat itu mengambil peran menjadi
advokat pertama di dunia. Ia mengenalkan sistem pembelaan dari bentuk peradilan
yang berbeda dari sebelumnya.
Pada zaman Romawi Kuno,
Patronus menjadi sandaran dan harapan publik untuk mendapatkan keadilan atas
sengketa ekonomi, keluarga, properti ataupun yang bersifat pidana. Motifnya
saat itu bukanlah profit, namun bagaimana dapat mengumpulkan power dan pengaruh
di tengah masyarakat untuk menyeimbangi kekuasaan serta kedermawanan. Seiring
waktu masyarakat pada saat itu sudah mulai mengenal advokatus yang kemudian
semakin popular hingga saat ini dengan istilah advokat. Nama Patronus pun
kemudian terelaborasi dalam diskursus dan terminologi ilmu sosial, ekonomi, dan
politik dalam masyarakat saat ini yang sering disebut patron klien.
Patron klien adalah sebuah
terminologi hubungan saling ketergantungan antara struktur patronase dengan
klien, baik dalam kepentingan hukum, politik, atau sosial budaya. Advokat dan
proses sejarahnya tidak bisa dilepaskan dari sistem sosial politik, dan
memiliki peran dalam mendesain sistem dan struktur sosial. Advokat hadir ketika
sistem sosial membutuhkan instrument pengendali, pengontrol, dan penyeimbang
kekuasaan yang berkembang sesuai dengan jamannya. Berjalannya waktu, profesi
hukum ini kemudian sudah mulai memperkenalkan honorarium dalam setiap
aktivitasnya.
Peran Patronus yang kemudian
diteruskan oleh para advokatus sejak zaman Romawi Kuno sampai abad pertengahan,
sudah mulai terstruktur dan sistematis. Dinamika sosial dan kebutuhan pada
pencari keadilan memosisikan dan menjadikan para advokatus ini bekerja dalam
spirit charity. Kedermawanan ini terjadi karena para advokatus berlatar
belakang kaum terhormat dan memiliki power dalam sistem sosial pada saat itu.
Mereka melakukan pembelaan terhadap masyarakat yang membutuhkan tanpa dibayar.
Kondisi ini semakin memperkuat hubungan patron klien para pengacara saat itu
dengan klien yang dibelanya, baik secara perseorangan ataupun secara
berkelompok.
Oleh karena semangat tersebut
muncul istilah officium nobile, yaitu pekerjaan yang terhormat. Kehormatan dan
kemuliaan ini sampai saat ini masih menjadi prototype untuk para advokat.
Dengan latar belakang sejarah sedemikian itulah, lambat laun profesi advokat
dinobatkan sebagai nobile officium. Dalam bahasa Latin kita temukan kata
nobilis yang artinya orang-orang terkemuka, para bangsawan di Roma, baik
patrici maupun plebeii yang nenek-moyangnya pernah memangku jabatan-jabatan
tinggi. Nobilis juga berarti mulia, luhur, utama, yang baik, yang
sebaik-baiknya.
Ada juga kata nobilitas yang
bisa diartikan hal berdarah bangsawan, kebangsawanan, kaum bangsawan,
berpangkat tinggi, kalangan atas, keluhuran jiwa, keulungan, keunggulan,
kemuliaan. Sedangkan officium berarti jasa, kesediaan menolong, kesediaan
melayani, ketakziman. Sebagai satu pilar penegak hukum, advokat bersama dengan
institusi dan profesi penegak hukum lainnya yaitu kepolisian, penuntut umum dan
hakim memiliki tanggung jawab dalam menegakkan hukum sehingga terbentuknya
masyarakat yang tertib, demokratis dan taat hukum.
Mendiskusikan kehormatan
sebagai sebuah identitas profesi, sangat bekaitan dengan praktik profesionalisme
advokat dalam melakukan tugasnya, baik di dalam pengadilan ataupun di luar
pengadilan. Menjaga dan menjunjung tinggi kode etik dan sumpah yang sudah
diucapkan merupakan satu parameter dalam menjalankan profesi. Sesuai UU Advokat
No.18 Tahun 2003, sebagai bagian dari penegak hukum, advokat memiliki tanggung
jawab besar dan konsekwensi-konsekwensi profesi dan sosial di tengah masih
banyaknya praktik penyimpangan peradilan yang dilakukan oleh oknum-oknum
penegak hukum.
Menurut Dr Frans Hendra
Winata SH MH, officium nobile adalah pengejawantahan dari nilai-nilai
kemanusiaan (humanity) dalam arti penghormatan pada martabat kemanusiaan; nilai
keadilan (justice) dalam arti dorongan untuk selalu memberikan kepada orang apa
yang menjadi haknya; nilai kepatutan
atau kewajaran (reasonableness) sebagai upaya mewujudkan ketertiban dan
keadilan dalam masyarakat; nilai kejujuran (honesty) dalam arti adanya dorongan
kuat untuk memelihara kejujuran dan menghindari perbuatan yang curang,
kesadaran untuk selalu menghormati dan menjaga integritas dan kehormatan
profesinya; nilai pelayanan kepentingan publik (to serve public interest) dalam arti pengembangan profesi hukum
telah inherent semangat keberpihakan pada hak-hak dan kepuasan masyarakat
pencari keadilan yang merupakan konsekuensi langsung dari nilai-nilai keadilan,
kejujuran dan kredibilitas profesi.
Manifestasi dari officium
nobile ini juga menjadi self critisme para advokat dalam praktik keadvokatan
dan tata cara berorganisasi. Di tengah
krisis mentalitas dan lemahnya wibawa hukum, masyarakat dihadapkan pada
ambiguitas sosial akibat lemahnya hukum sebagai pengayom dan pelindung,
kemudian fenomena pola pikir yang
permissive terhadap perilaku korupsi dan a social lainnya yang kerap
melanggar norma dan nilai-nilai kepatutan. Advokat yang menjadi bagian dari
profesi hukum tentu saja harus mampu mengubah dan mengoreksi setiap kebijakan
dan praktik-praktik yang akan berakibat pada mundurnya kualitas peradaban.
Fungsi advokat terhadap
keadilan yang perlu mendapat perhatian adalah mewakili klien untuk mencapai
keadilan dan kepastian hukum, serta sebagai pengawal konstitusi dan moral hukum
yang berkembang di masyarakat. Selain fungsi tersebut, juga bagaimana advokat
dapat memberikan pencerahan di bidang hukum kepada masyarakat. Ini bisa
dilakukan dengan cara penyuluhan hukum, sosialisasi berbagai peraturan
perundang-undangan, dan konsultasi hukum.
Secara sosiologis keberadaan
advokat di tengah-tengah masyarakat seperti buah simalakama. Fakta yang tidak
terbantahkan bahwa keberadaan advokat sangat dibutuhkan oleh masyarakat,
khususnya masyarakat yang tersandung perkara hukum. Tetapi ada juga sebagian
masyarakat menilai bahwa keberadaan advokat dalam sistem penegakan hukum tidak
diperlukan. Penilaian negatif ini tak terlepas dari sepak terjang dari advokat
yang kadangkala dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai penegak hukum
tidak sesuai dengan harapan.
Saat ini, sangat disayangkan
sebagian kecil advokat menjadi bagian dari mafia peradilan. Tidaklah mengherankan
jika ada sebagian masyarakat menyebutkan bahwa profesi advokat merupakan
profesi sampah, bukan lagi profesi yang mulia (officium nobille).
Untuk itu diperlukan adanya
pemahaman kepada masyarakat bahwa profesi advokat bukan merupakan profesi sampah,
tetapi merupakan profesi yang mulia. Jika ada sebagian kecil advokat melakukan
penyimpangan dalam menjalan profesinya, maka hal itu bukanlah kesalahan dari
profesi advokat tetapi hanyalah oknum yang menyalahi ketentuan profesi advokat.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar