- Untuk mengungkap suatu
tindak pidana atau akan terjadinya suatu tindak pidana, sehingga
pengembalian asset dari hasil suatu tindak pidana bisa dicapai kepada
negara;
- Memberikan informasi
kepada aparat penegak hukum; dan
- Memberikan kesaksian di
dalam proses peradilan.
Dengan
demikian kedudukan justice collaborator merupakan saksi
sekaligus sebagai tersangka yang harus memberikan keterangan dalam persidangan,
selanjutnya dari keterangan tersebut dapat dijadikan pertimbangan hakim
dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.
Terminologi
Justice
collaborator pertama
kali diperkenalkan di Amerika Serikat sekitar tahun 1970-an. Dimasukkanyan
doktrin tentang justice collaborator di Amerika Serikat
sebagai salah satu norma hukum di negara tersebut dengan alasan perilaku mafia
yang selalu tutup mulut atau dikenal dengan istilah omerta sumpah
tutup mulut . Oleh sebab itu, bagi mafia yang mau memberikan informasi,
diberikanlah fasilitas justice collaborator berupa
perlindungan hukum. Kemudian terminology justice collaborator berkembang
pada tahun selanjutnya di beberapa negara, seperti di Italia (1979), Portugal
(1980), Spanyol (1981), Prancis (1986), dan Jerman (1989).
Dalam
perkembangannya, pada konvensi Anti Korupsi (United Nation Convention
Against Corruption – UNCAC ) dilakukan sebagai upaya untuk menekan
angka korupsi secara global. Dengan adanya kerjasama internasional untuk
menghapuskan korupsi di dunia, maka nilai-nilai pemberantasan korupsi didorong
untuk disepakati oleh banyak negara. Salah satu hal yang diatur di dalam
konvensi UNCAC, pada ketentuan Pasal 37 ayat (2) dan (3) adalah
penanganan kasus khusus bagi pelaku tindak pidana korupsi yang ingin
bekerjasama dengan aparat penegak hukum. Kerjasama tersebut di atas ditujukan
untuk mengusut pelaku lain pada kasus yang melibatkan si pelaku. Kemudian
kerjasama antara pelaku dengan penegak hukum dikenal dengan istilah Justice
Collaborator. Konvensi UNCAC telah diratifikasi oleh Indonesia melalui
Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention
Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan bangsa-Bangsa Anti Korupsi,
2003).
Norma
Hukum Nasional
Dalam
hukum nasional, Justice collaborator diatur dalam
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban,
Undang-undang Nomor 31 tahun 2014 (perubahan atas UU Nomor 13 tahun 2006)
tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.
04 tahun 2011, Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri,
KPK, dan LPSK tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi
Pelaku yang Bekerjasama.
Sumber
hukum yang disebutkan di atas masih belum memberikan pengaturan yang
proporsional, sehingga keberadaan justice collaborator bisa
direspon secara berbeda oleh penegak hukum. Misalnya pada Surat Edaran Mahkamah
Agung No. 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Wistleblowers) dan
Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborators) di dalam
Perkara Tindak Pidana Tertentu. Lahirnya SEMA di atas didasarkan pada
pertimbangan: bahwa dalam tindak pidana tertentu yang serius seperti teroris,
korupsi, narkotika, pencucian uang, tindak pidana perdagangan orang, telah
menimbulkan gangguan yang serius pada masyarakat, sehingga perlu ada perlakuan
khusus kepada setiap orang yang melaporkan, mengetahui atau menemukan suatu
tindak pidana yang membantu penegak hukum dalam mengungkapnya. Oleh sebab itu,
untuk mengatasi tindak pidana tersebut di atas, para pihak yang terlibat dalam
tindak pidana tersebut perlu mendapatkan perlindungan hukum dan perlakuan
khusus
Selanjutnya,
dalam SEMA diberikan pedoman kepada hakim dalam menjatuhkan pidana kepada justice
collaborator dengan beberapa kriteria:
- Yang bersangkutan
merupakan pelaku tindak pidana tertentu, mengakui kejahatannya, bukan
pelaku utama dan memberikan keterangan sebagai saksi dalam perkara
tersebut;
- Jaksa Penuntut Umum telah
menjelaskan dalam tuntutannya menyatakan yang bersangkutan telah memberikan
keterangan dan bukti-bukti yang signifikan sehingga dapat mengungkap
tindak pidana dimaksud.
Dalam
konteks di atas, hakim yang memeriksa perkara diminta untuk menjatuhkan
putusan:
- Pidana percobaan bersyarat
dan atau;
- Pidana penjara yang paling
ringan dengan mempertimbangkan keadilan dalam masyarakat.
Meskipun
dalam SEMA sudah diatur dan sudah dijadikan panduan bagi hakim-hakim di
lingkungan peradilan di Indonesia, namun SEMA tersebut tidak bisa mengikat
jaksa maupun bagi penyidik. SEMA di atas hanyalah aturan internal di lingkungan
peradilan, sehingga tidak memiliki otoritas yang kuat dalam memastikan
bahwa justice collaborator mendapatkan perlakuan khusus.
Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
juga tidak memberikan jaminan perlindungan terhadap justice
collaborator. KUHP dan KUHAP juga tidak mengatur posisi justice
collaborator secara tuntas. Dengan demikian norma pada hukum positif
kita tidak memberikan tempat yang layak pada justice collaborator.
Oleh sebab itu, perlu untuk mencari terobosan hukum dalam memberikan
perlindungan kepada justice collaborator.
Selain
SEMA, ada juga Peraturan Bersama Nomor 11 Tahun 2011, yang mana peraturan
tersebut dinilai sebagai terobosan hukum dalam rangka mengisi kekosongan hukum
namun dalam pelaksanaannya tetap ditemukan kendala. Kendala utama yang
ditemukan adalah penanganan khusus bagi saksi pelaku yang
bekerjasama. Perwujudan dari penanganan khusus bagi saksi pelaku yang
bekerjasama juga yang tidak jelas (clear), yang mana terlihat pada Pasal
6 ayat 3. Lembaga penegak hukum lebih cenderung menggunakan KUHAP dari pada Peraturan
Bersama, sehingga hak-hak saksi pelaku yang bekerjasama, dalam praktiknya tidak
mendapatkan penanganan khusus.
Atas
kerumitan norma yang ada tentang justice collaborator,
maka Undang-undang No. 13 Tahun 2006 direvisi dengan Undang-undang No. 31 Tahun
2014 khususnya pada Pasal 10 Undang-undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan
Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 rumusan normanya adalah sebagai berikut:
- Saksi, Korban dan Saksi
Pelaku dan atau Pelaporan tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana
maupun perdata atas kesaksian dana tau laporan yang akan, sedang atau
telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan
tidak dengan iktikad baik.
- Dalam hal terdapat
tuntutan hukum terhadap Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan atau Pelapor atas
kesaksian dan atau laporan yang akan, sedang atau telah diberikan,
tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau
ia berikan kesaksianntelah diputus oleh pengadilan dan memperoleh
kekuatan hukum tetap.
Kemudian
dalam dalam Pasal 10 (A)
- Saksi Pelaku dapat
diberikan penanganan secara khusus dalam proses pemeriksaan dan
penghargaan atas kesaksian yang diberikan.
- Penanganan secara khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
(1) Pemisahan
tempat penahanan atau tempat menjalani pidana antara Saksi Pelaku dengan
tersangka, terdakwa, dan/atau narapaidana yang diungkap tindak pidananya;
(2)
Pemisahan pemeriksaan antara berkas Saksi Pelaku dengan berkas tersangka dan
terdakwa dalam proses penyidikan, dan penuntutan atas tindak pidana yang
diungkapkannya dan/atau:
(3)
Memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa berhadapan langsung dengan
terdakwa yang diungkap tindak pidananya.
(3)
Penghargaan atas kesaksian sebagaimana dimaksud paad ayat (1) berupa :
- Keringanan penjatuhan
pidana; atau
- Pembebasan bersyarat,
remisi tambahan, dan hak narapidana lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-unndangan bagi Saksi Pelaku yang berstatus narapidana.
Untuk
memperoleh penghargaan berupa keringanan penjatuhan pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf a, LPSK memberikan rekomendasi secara tertulis kepada
penuntut umum untuk dimuat dalam tuntututannya kepada hakim. dan Untuk
memperoleh penghargaan berupa pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan
hak narapidana lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, LPSK memberikan
rekomendasi secara tertulis kepada menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum.
Meskipun
norma justice collaborator telah diatur dalam Undang-undang
No. 31 Tahun 2014, namun masih tetap ditemukan kelemahan dalam
pelaksanaannya. Kelemahan pertama adalah untuk mengajukan permohonan justice
collaborator ke LPSK, sehingga mengacu pada tersebut di atas,
pengaturannya masih belum jelas diatur. Pada kondisi demikian, muncul
pertanyaan: Jika tersangka ditahan oleh KPK, apakah permohonan sebagai justice
collaborator diajukan ke KPK atau LPSK atau kepada keduanya? Dalam
praktik, ada tiga jawaban atas pertanyaan tersebut di atas. Pertama; permohonan
sebagai justice collaborator diajukan kepada KPK. Kedua, untuk
mendapatkan penanganan khusus, sangat tergantung dari instansi yang menangani
tersangka/terdakwa, dan penilaian apakah yang bersangkutan bisa dikategorikan
sebagai justice collaborator atau tidak bisa,
keputusannya ditentukan oleh instansi yang bersangkutan. Dengan demikian,
penilaian akan ketentuan justice collaborator menjadi sangat
subjektif, dan LPSK tidak memiliki kekuatan dalam menentukan apakah seseorang
layak mendapatkan status justice collaborator atau tidak
layak. Ketiga, penghargaan untuk mendapatkan keringanan hukuman sifatnya tidak
mengikat hakim. Surat rekomendasi yang diterbitkan oleh LPSK terhadap
pengadilan belum tentu bisa dijadikan dasar untuk meringankan hukuman
seorang justice collaborator. Demikian juga dengan rekomendasi LPSK
untuk mendapatkan remisi tambahan, pembebasan bersyarat kepada justice
collaborator tidak serta merta menjadi pertimbangan dalam
pelaksanaannya.
Oleh
sebab itu, sepanjang norma tentang justice collaborator tidak
melekat dalam revisi KUHAP, maka masih ditemukan kendala prosedural formal.
KUHAP merupakan norma hukum pidana formil, yang meletakan dasar-dasar yang
kokoh dalam criminal justice system. LPSK tidak ditempatkan
dalam sistem tersebut, sehingga keberadaan institusi tersebut belum begitu
dipertimbangkan oleh lembaga-lembaga penegak hukum yang ada. Positioning LPSK
berbeda sekali dengan KPK, lembaga tersebut tidak memiliki kewenangan yang
“berwibawa” di mata penegaka hukum, sehingga rekomendasi yang diberikan oleh
LPSK memiliki dua opsi, yaitu: “boleh dipatuhi” atau “boleh tidak
dipatuhi”.
Studi
Kasus
Agus
Condro Prayitno adalah anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR RI dari PDI
Perjuangan Periode 1999-2004. Bersama dengan tiga rekannya yaitu Max, Willem
dan Rusman menjadi terpidana karena menerima cek pelawat usai kemenangan
Miranda Swaray Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia
tahun 2004.
Jaksa
Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Agus Condro Prayitno
lebih ringan satu tahun dibandingkan dengan tiga rekannya. Agus Condro dituntut
selama satu tahun enam bulan dengan denda Rp 50 juta, subsider tiga bulan.
Berbeda dengan Max Moein, Rusman Lumban Toruan, dan Willem Max Tutuarima.
Ketiga rekan Agus Condro dituntut pidana selama dua tahun enam bulan, denda Rp
50 juta, subsider tiga bulan. Khusus bagi Max Moien dan Rusman Lumban Toruan,
jaksa menambah tuntutan pidana perampasan uang dan barang-barang yang diperoleh
hasil korupsi atau harta kekayaan senilai Rp 500 juta yang dimiliki oleh
terdakwa dan keluarganya. Jaksa juga meminta uang tunai Rp 100 juta yang
dikembalikan Agus Condro menjadi rampasan negara. Perbedaan tuntutan jaksa pada
kasus di atas didasarkan pada alasan bahwa Agus Condro membantu KPK dalam
membongkar skandal korupsi dalam pemilihan Miranda sebagai Deputi Gubernur Bank
Indonesia.
Majelis
Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang diketuai Suhartoyo, memutuskan Agus
Condro bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Agus
disidangkan bersama tiga terdakwa lain sesama mantan anggota Fraksi Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan DPR periode 2004-2009, Max Moein, Rusman
Lumbantoruan, dan Willem Tutuarima. Max dan Rusman divonis satu tahun delapan
bulan penjara, sedangkan Willem divonis satu tahun enam bulan. Agus Condro
sendiri divonis satu tahun 3 bulan. Hanya berberbeda tipis dengan pelaku
korupsi lainnya.
Penutup
Pentingnya
perlindungan hukum terhadap justice collaborator, perlakuan khusus
dan hukuman percobaan/peringanan hukum menjadi hal yang sangat penting untuk
dapat membuat sebuah perisitiwa pidana yang awalnya gelap gulita menjadi terang
menderang. Namun untuk mewujudkan misi penyelesaian akan tindak pidana,
peraturan yang ada tidak mendukung untuk memujudkanya. Demikian juga dengan
keberadaan LPSK yang diberikan mandat oleh undang-undang yang tidak maksimal
menjalankan fungsinya. Situasi di atas tentunya harus segera diatasi.
Dalam jangka panjang, KUHAP harus mamasukkan pengaturan yang tegas dan jelas
mengenai hal justice collaborator, dan LPSK juga harus diberikan
mandat untuk dapat memberikan perlindungan hukum bagi justice
collaborator, dan dimandatkan juga sebagai bagian dari criminal
justice system. Dengan kelengkapan instrumen hukum maka keberadaan justice
collaborator bisa mengungkap berbagai kasus pidana menjadi lebih
jelas. (***)