Kamis, 13 Oktober 2022

Mengenal UU ITE

 

UU ITE menjadi trending dan ramai diperbincangkan menyusul kasus viral pencuri coklat di Alfamart yang malah mengancam pegawai minimarket tersebut dengan UU ITE. Kasus ini terjadi di Alfamart Sampora, Cisauk, Tangerang pada 13 Agustus 2022. Lantas, sebenarnya apa itu UU ITE dan apa saja yang diatur di dalamnya?

Pada kasus pegawai Alfamart yang memergoki pencuri cokelat, dia malah diancam dengan UU ITE dan dipaksa membuat video permintaan maaf. Ancaman UU ITE tersebut dibenarkan oleh manajemen Alfamart. Kasus viral ini bahkan sampai melibatkan pengacara kondang Hotman Paris yang bersedia membela pihak Alfamart.

Apa Itu UU ITE?

Sebelum membahas lebih dalam mengenai perdebatan penggunaan UU ITE, mari mengenal pengertian dari produk hukum satu ini. Sederhananya, UU ITE atau Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah undang-undang yang mengatur mengenai informasi dan transaksi elektronik

UU ITE pertama kali disahkan melalui UU No. 11 Tahun 2008 sebelum akhirnya direvisi dengan UU No. 19 Tahun 2016. Berdasarkan UU ITE, informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Sementara, transaksi elektronik merupakan perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya. Aturan ini berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur UU ITE, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.

 

Manfaat UU ITE

Salah satu pertimbangan pembentukan UU ITE adalah pemerintah perlu mendukung pengembangan teknologi informasi melalui infrastruktur hukum dan pengaturannya sehingga pemanfaatan teknologi informasi dilakukan secara aman untuk mencegah penyalahgunaannya dengan memperhatikan nilai-nilai agama dan sosial budaya masyarakat Indonesia.

Sementara, secara umum kehadiran UU ITE memiliki beberapa manfaat jika dilaksanakan dengan benar. Sebagai UU yang mengatur informasi dan transaksi elektronik di Indonesia, berikut beberapa manfaat UU ITE:

Menjamin kepastian hukum untuk masyarakat yang melakukan transaksi elektronik

Mendorong adanya pertumbuhan ekonomi di Indonesia

Salah satu upaya mencegah adanya kejahatan yang dilakukan melalui internet

Melindungi masyarakat dan pengguna internet lainnya dari berbagai tindak kejahatan online.

 

Perbuatan yang Dilarang UU ITE

UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menjelaskan secara rinci apa saja perbuatan yang dilarang. Bagi mereka yang melanggar UU ITE berpotensi mendapat hukuman berupa denda hingga kurungan penjara. Berikut beberapa perbuatan yang dilarang UU ITE:

1. Menyebarkan Video Asusila

Perbuatan pertama yang dilarang dalam UU ITE adalah orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Ini diatur dalam pasal 27 ayat (1) UU ITE.

Setiap orang yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

2. Judi Online

Selanjutnya, pasal 27 ayat (2) UU ITE memuat larangan perbuatan yang bermuatan perjudian. Hukuman untuk mereka yang melanggar adalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

3. Pencemaran Nama Baik

Pasal 27 ayat (3) UU ITE juga mengatur tentang pencemaran nama baik. Pelaku yang dijerat dengan pasal ini bakal dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Selanjutnya pada revisi UU No. 19 Tahun 2016, dijelaskan bahwa ketentuan pada pasal 27 ayat (3) merupakan delik aduan.

4. Pemerasan dan Pengancaman

Orang yang melakukan pemerasan dan pengancaman juga berpeluang dijerat pasal 27 ayat (4) UU ITE. Hukumannya adalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

5. Berita Bohong

Berita bohong juga dilarang dalam pasal 28 ayat (1) UU ITE yang berbunyi bahwa setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.

Bagi para pelaku penyebar berita bohong bakal dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

6. Ujaran Kebencian

Orang yang menyebarkan informasi dengan tujuan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) juga merupakan perbuatan yang dilarang dalam pasal 28 ayat (2) UU ITE.

Hukuman pelaku ujaran kebencian sebagaimana dijelaskan pada pasal 28 ayat (2) adalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

7. Teror Online

Pada pasal 29 UU ITE mengatur perbuatan teror online yang dilarang. Pasal ini bakal menjerat setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.

Hukuman bagi pelaku teror online yang bersifat menakut-nakuti orang lain dengan adalah pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

Perbuatan Lain yang Dilarang UU ITE

·     Mengakses, mengambil, dan meretas sistem elektronik milik orang lain dengan cara apapun (pasal 30)

·     Melakukan intersepsi atau penyadapan terhadap sistem elektronik milik orang lain dari publik ke privat dan sebaliknya (pasal 31)

·     Mengubah, merusak, memindahkan ke tempat yang tidak berhak, menyembunyikan informasi atau dokumen elektronik, serta membuka dokumen atau informasi rahasia (pasal 32)

·     Mengganggu sistem elektronik (pasal 33)

·   
Menyediakan perangkat keras atau perangkat lunak, termasuk sandi komputer dan kode akses untuk pelanggar larangan yang telah disebutkan (pasal 34)

· Pemalsuan dokumen elektronik dengan cara manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, dan pengrusakan (pasal 35).

Pelaksanaan UU ITE di Kehidupan Bermasyarakat

Semua transaksi dan sistem elektronik serta perangkat pendukung memperoleh perlindungan hukum

Masyarakat mampu memaksimalkan potensi ekonomi secara digital

Peningkatan potensi pariwisata melalui E-tourism dengan mempermudah penggunaan teknologi informasi

Trafik internet yang tersedia di Indonesia dimanfaatkan untuk kemajuan masyarakat dengan cara membuat konten edukasi dan konten-konten bermanfaat lainnya

Produk-produk ekspor diterima tepat waktu yang membuat potensi kreatif masyarakat bisa lebih maksimal untuk bersaing dengan negara lain.

Dampak Negatif UU ITE

Menurut kajian dari Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI Vol. XII No.16/II/Puslit/Agustus/2020, setidaknya sudah ada 271 kasus yang dilaporkan ke polisi usai disahkannya UU No. 16 Tahun 2016 yang merevisi UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE. Keberadaan pasal multitafsir menjadi salah satu penyebab utama maraknya pelaporan tersebut.

Ada 3 pasal yang paling sering dilaporkan, yakni pasal 27, 28, dan 29. Pasal-pasal tersebut dianggap mengandung ketidakjelasan rumusan sehingga berpotensi mengekang kebebasan berekspresi masyarakat dan dimanfaatkan untuk balas dendam sehingga mencederai tujuan hukum UU ITE.

Merujuk pada situs registrasi Mahkamah Agung, ada 508 perkara di pengadilan yang menggunakan UU ITE sepanjang 2011-2018. Kasus terbanyak adalah pidana yang berhubungan dengan penghinaan dan pencemaran nama baik, sebagaimana diatur pasal 27 ayat (3) UU ITE. Selanjutnya adalah kasus ujaran kebencian yang tertera pada pasal 28 ayat (2) UU ITE.

Pasal-pasal tersebut dikenal dengan sebutan pasal karet. Pasal karet diartikan sebagai pasal yang tafsirannya sangat subjektif dari penegak hukum ataupun pihak lainnya sehingga bisa menimbulkan tafsiran yang beragam alias multitafsir. Pada akhirnya, kebebasan berekspresi masyarakat Indonesia terancam. Berikut beberapa dampak negatif UU ITE:

Membatasi kebebasan berpendapat, terutama dalam beropini dan memberikan kritik

Menimbulkan kesewenang-wenangan para penegak hukum dalam menentukan orang yang tersandung UU ITE bersalah dan layak dipidanakan, tanpa memilah dan memilih unsur pasal mana yang dilanggar

Menjadi instrumen sebagian kelompok dalam rangka balas dendam, bahkan menjadi senjata untuk menjebak lawan politik

Kurang menjamin kepastian hukum karena putusan terkait pasal-pasal multitafsir menjadi beragam bahkan bertolak belakang

Memicu keresahan dan perselisihan masyarakat yang dengan mudah melaporkan kepada penegak hukum dan menambah sumber konflik antara penguasa dan anggota masyarakat

Tidak efektif karena beberapa pasal merupakan duplikasi aturan KUHP, seperti Pasal 27 ayat (3) UU ITE terkait penghinaan dan pencemaran nama baik telah diatur dalam Pasal 310 dan 311 KUHP.

Itulah penjelasan lengkap mengenai apa itu UU ITE. Meski sudah mengalami revisi dengan disahkannya UU No. 19 Tahun 2016 yang mengubah UU No. 11 Tahun 2008, masih ada beberapa kekurangan dan dampak negatif yang perlu terus diperbaiki agar UU ITE tidak disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.

Sabtu, 01 Oktober 2022

Officium Nobile

 


PATRONUS tidak membayangkan bahwa peran yang dilakoninya saat itu akan menjadi satu profesi yang sangat berpengaruh dalam konfigurasi hukum dunia serta berpengaruh terhadap polarisasi politik, ekonomi, dan budaya saat ini. Mungkin niat Patronus saat itu hanya ingin menunjukkan kedermawanan sosial dan memperkuat pengaruhnya dalam sistem kekuasaan dan politik, guna menjadi penyeimbang politik saat itu. Jauh sebelum tahun Masehi, Patronus tokoh dan pemuka pada saat itu mengambil peran menjadi advokat pertama di dunia. Ia mengenalkan sistem pembelaan dari bentuk peradilan yang berbeda dari sebelumnya.

Pada zaman Romawi Kuno, Patronus menjadi sandaran dan harapan publik untuk mendapatkan keadilan atas sengketa ekonomi, keluarga, properti ataupun yang bersifat pidana. Motifnya saat itu bukanlah profit, namun bagaimana dapat mengumpulkan power dan pengaruh di tengah masyarakat untuk menyeimbangi kekuasaan serta kedermawanan. Seiring waktu masyarakat pada saat itu sudah mulai mengenal advokatus yang kemudian semakin popular hingga saat ini dengan istilah advokat. Nama Patronus pun kemudian terelaborasi dalam diskursus dan terminologi ilmu sosial, ekonomi, dan politik dalam masyarakat saat ini yang sering disebut patron klien.

Patron klien adalah sebuah terminologi hubungan saling ketergantungan antara struktur patronase dengan klien, baik dalam kepentingan hukum, politik, atau sosial budaya. Advokat dan proses sejarahnya tidak bisa dilepaskan dari sistem sosial politik, dan memiliki peran dalam mendesain sistem dan struktur sosial. Advokat hadir ketika sistem sosial membutuhkan instrument pengendali, pengontrol, dan penyeimbang kekuasaan yang berkembang sesuai dengan jamannya. Berjalannya waktu, profesi hukum ini kemudian sudah mulai memperkenalkan honorarium dalam setiap aktivitasnya.

Peran Patronus yang kemudian diteruskan oleh para advokatus sejak zaman Romawi Kuno sampai abad pertengahan, sudah mulai terstruktur dan sistematis. Dinamika sosial dan kebutuhan pada pencari keadilan memosisikan dan menjadikan para advokatus ini bekerja dalam spirit charity. Kedermawanan ini terjadi karena para advokatus berlatar belakang kaum terhormat dan memiliki power dalam sistem sosial pada saat itu. Mereka melakukan pembelaan terhadap masyarakat yang membutuhkan tanpa dibayar. Kondisi ini semakin memperkuat hubungan patron klien para pengacara saat itu dengan klien yang dibelanya, baik secara perseorangan ataupun secara berkelompok.

Oleh karena semangat tersebut muncul istilah officium nobile, yaitu pekerjaan yang terhormat. Kehormatan dan kemuliaan ini sampai saat ini masih menjadi prototype untuk para advokat. Dengan latar belakang sejarah sedemikian itulah, lambat laun profesi advokat dinobatkan sebagai nobile officium. Dalam bahasa Latin kita temukan kata nobilis yang artinya orang-orang terkemuka, para bangsawan di Roma, baik patrici maupun plebeii yang nenek-moyangnya pernah memangku jabatan-jabatan tinggi. Nobilis juga berarti mulia, luhur, utama, yang baik, yang sebaik-baiknya.

Ada juga kata nobilitas yang bisa diartikan hal berdarah bangsawan, kebangsawanan, kaum bangsawan, berpangkat tinggi, kalangan atas, keluhuran jiwa, keulungan, keunggulan, kemuliaan. Sedangkan officium berarti jasa, kesediaan menolong, kesediaan melayani, ketakziman. Sebagai satu pilar penegak hukum, advokat bersama dengan institusi dan profesi penegak hukum lainnya yaitu kepolisian, penuntut umum dan hakim memiliki tanggung jawab dalam menegakkan hukum sehingga terbentuknya masyarakat yang tertib, demokratis dan taat hukum.

Mendiskusikan kehormatan sebagai sebuah identitas profesi, sangat bekaitan dengan praktik profesionalisme advokat dalam melakukan tugasnya, baik di dalam pengadilan ataupun di luar pengadilan. Menjaga dan menjunjung tinggi kode etik dan sumpah yang sudah diucapkan merupakan satu parameter dalam menjalankan profesi. Sesuai UU Advokat No.18 Tahun 2003, sebagai bagian dari penegak hukum, advokat memiliki tanggung jawab besar dan konsekwensi-konsekwensi profesi dan sosial di tengah masih banyaknya praktik penyimpangan peradilan yang dilakukan oleh oknum-oknum penegak hukum.

Menurut Dr Frans Hendra Winata SH MH, officium nobile adalah pengejawantahan dari nilai-nilai kemanusiaan (humanity) dalam arti penghormatan pada martabat kemanusiaan; nilai keadilan (justice) dalam arti dorongan untuk selalu memberikan kepada orang apa yang  menjadi haknya; nilai kepatutan atau kewajaran (reasonableness) sebagai upaya mewujudkan ketertiban dan keadilan dalam masyarakat; nilai kejujuran (honesty) dalam arti adanya dorongan kuat untuk memelihara kejujuran dan menghindari perbuatan yang curang, kesadaran untuk selalu menghormati dan menjaga integritas dan kehormatan profesinya; nilai pelayanan kepentingan publik (to serve public interest) dalam arti pengembangan profesi hukum telah inherent semangat keberpihakan pada hak-hak dan kepuasan masyarakat pencari keadilan yang merupakan konsekuensi langsung dari nilai-nilai keadilan, kejujuran dan kredibilitas profesi.

Manifestasi dari officium nobile ini juga menjadi self critisme para advokat dalam praktik keadvokatan dan tata cara berorganisasi.  Di tengah krisis mentalitas dan lemahnya wibawa hukum, masyarakat dihadapkan pada ambiguitas sosial akibat lemahnya hukum sebagai pengayom dan pelindung, kemudian fenomena pola pikir yang  permissive terhadap perilaku korupsi dan a social lainnya yang kerap melanggar norma dan nilai-nilai kepatutan. Advokat yang menjadi bagian dari profesi hukum tentu saja harus mampu mengubah dan mengoreksi setiap kebijakan dan praktik-praktik yang akan berakibat pada mundurnya kualitas peradaban.

Fungsi advokat terhadap keadilan yang perlu mendapat perhatian adalah mewakili klien untuk mencapai keadilan dan kepastian hukum, serta sebagai pengawal konstitusi dan moral hukum yang berkembang di masyarakat. Selain fungsi tersebut, juga bagaimana advokat dapat memberikan pencerahan di bidang hukum kepada masyarakat. Ini bisa dilakukan dengan cara penyuluhan hukum, sosialisasi berbagai peraturan perundang-undangan, dan konsultasi hukum.

Secara sosiologis keberadaan advokat di tengah-tengah masyarakat seperti buah simalakama. Fakta yang tidak terbantahkan bahwa keberadaan advokat sangat dibutuhkan oleh masyarakat, khususnya masyarakat yang tersandung perkara hukum. Tetapi ada juga sebagian masyarakat menilai bahwa keberadaan advokat dalam sistem penegakan hukum tidak diperlukan. Penilaian negatif ini tak terlepas dari sepak terjang dari advokat yang kadangkala dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai penegak hukum tidak sesuai dengan harapan.

 

Saat ini, sangat disayangkan sebagian kecil advokat menjadi bagian dari mafia peradilan. Tidaklah mengherankan jika ada sebagian masyarakat menyebutkan bahwa profesi advokat merupakan profesi sampah, bukan lagi profesi yang mulia (officium nobille).

Untuk itu diperlukan adanya pemahaman kepada masyarakat bahwa profesi advokat bukan merupakan profesi sampah, tetapi merupakan profesi yang mulia. Jika ada sebagian kecil advokat melakukan penyimpangan dalam menjalan profesinya, maka hal itu bukanlah kesalahan dari profesi advokat tetapi hanyalah oknum yang menyalahi ketentuan profesi advokat.

Entri Populer