Jumat, 30 September 2022

Mengenal beberapa asas dalam Hukum Acara Perdata

Hukum acara perdata merupakan rangkaian peraturan-peraturan hukum formil yang digunakan untuk mempertahankan keberlangsungan hukum perdata materiil dalam hal adanya tuntutan hak. Adapun hukum perdata materiil yang dimaksud meliputi segala peraturan perundang-undangan yang mengatur kepentingan antarwarga negara perseorangan yang satu dengan warga perseorangan yang lain. Hukum formil tersebut merupakan peraturan hukum yang berisi ketentuan untuk menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim. Selain itu, hukum acara perdata juga mengatur tata cara mengajukan tuntutan hak, memeriksa, memutuskan dan melaksanakan putusan.



Adapun dalam hukum acara perdata terdapat beberapa asas yang berlaku yaitu: 1) hakim bersifat menunggu, 2) hakim pasif, 3) sifat terbukanya persidangan, 4) mendengar kedua belah pihak, 5) putusan harus disertai alasan-alasan, 6) beracara dikenakan biaya dan 7) tidak ada keharusan mewakilkan. Asas yang pertama, hakim bersifat menunggu, berarti bahwa segala ajuan tuntutan hak sepenuhnya diserahkan pada pihak yang berkepentingan. Apabila tidak ada tuntutan hak atau penuntutan, maka tidak ada hakim yang mengurus perkara (Wo kein Klager ist, ist kein Richter; nemo judex sine actore). Berikutnya, dalam memeriksa perkara, hakim harus bersikap pasif yang artinya adalah ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan ditentukan oleh para pihak yang berperkara, bukan oleh hakim. Hal ini merupakan ketentuan yang diharuskan dalam asas hakim pasif. Asas hakim pasif juga dikenal sebagai asas ultra petita non cognoscitur yang menghendaki hakim untuk hanya menimbang hal-hal yang diajukan para pihak dan tuntutan hukum yang didasarkan padanya. Dengan kata lain, hakim hanya menentukan hal-hal yang diajukan dan dibuktikan para pihak, sehingga hakim dilarang menambah maupun memberikan lebih dari yang diminta para pihak.[5] Sebagai contoh, apabila hakim ditugaskan dengan suatu kasus Wanprestasi yang ternyata disertai penipuan, hakim tersebut hanya diperkenankan mengadili perkara Wanprestasinya saja. Selain itu, persidangan yang dilaksanakan juga harus terbuka untuk umum, sehingga setiap orang diperbolehkan untuk hadir dan mendengarkan pemeriksaan di persidangan. Adapun keterbukaan yang dimaksud dalam asas tersebut dilakukan guna memberi perlindungan hak-hak asasi manusia dalam peradilan dan menjamin objektivitas agar hakim bersikap adil serta tidak memihak.

Selanjutnya, hakim dalam beracara perdata juga harus memperlakukan para pihak dengan sama, tidak memihak dan mendengarkan mereka bersama-sama. Adapun alur gugatan dalam persidangan meliputi beberapa tahap yaitu: 1) pembacaan gugatan, 2) jawaban, 3) replik oleh penggugat dan 4) replik dari tergugat.[7] Asas ini juga dikenal dengan asas audi et alteram partem yang berarti hakim harus mendengar dan memberikan kesempatan yang sama kepada para pihak dalam menyampaikan informasi dan keterangan.[8]Hal ini didukung dengan adanya Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi:

"Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.”

Selain itu, putusan yang diberikan hakim juga harus memuat alasan-alasan sebagai dasar untuk mengadili agar menjadi pertanggungjawaban hakim pada putusannya terhadap para pihak, masyarakat, pengadilan yang lebih tinggi dan ilmu hukum.Terlebih lagi, dalam hukum acara perdata, berperkara juga akan dikenakan biaya kepaniteraan, panggilan, pemberitahuan dan material. Bahkan, jika pihak yang sedang berperkara meminta bantuan pengacara, pihak tersebut juga harus mengeluarkan biaya untuk jasa pengacaranya. Terakhir, hukum tidak mewajibkan para pihak untuk mewakili perkaranya kepada orang lain. Artinya, setiap orang yang berkepentingan dapat melewati dan menjalani pemeriksaan di persidangan secara langsung. Hal tersebut dapat mempermudah hakim untuk mengetahui lebih jelas perkara yang sedang diperiksa. Akan tetapi, seorang wakil juga dapat bermanfaat bagi hakim dalam persidangan karena mereka dianggap beritikad baik dalam memberikan bantuan dan tahu akan hukum jika wakilnya adalah sarjana hukum. Dengan kata lain, seorang wakil dapat memperlancar jalannya peradilan hukum.

Sebagai kesimpulan, hukum acara perdata merupakan hukum formil yang menjamin berjalannya hukum perdata materiil. Adapun dalam beracara perdata, terdapat asas-asas yang berfungsi sebagai pedoman untuk membantu seluruh kegiatan dan pelaksanaan acara perdata dalam persidangan. Asas-asas tersebut juga dapat membantu memberikan perlindungan hukum, transparansi dan keadilan bagi pihak-pihak yang berperkara maupun masyarakat.

Dasar Hukum:

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5076).

Rabu, 14 September 2022

Penerapan Asas Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan serta Asas memberikan Keadilan pada Pencari Keadilan dalam menyelesaikan Perkara

 


Hukum menurut Van Apeldoorn adalah bahwa hukum itu sering disamakan dengan undang-undang; bagi masyarakat,hukum adalah sederetan pasal-pasal, dan cara pandangini menyesatkan karena kita tidak melihat hukum di dalamUndang-Undang, akan tetapi di dalamnya terlihat sesuatutentang hukum, karena apa yang terlihat di dalam Undang-Undang, pada umumnya (tidak selamanya) hukum.

Van Apeldoorn tidak hanya melihat konsep hukum itu tampak pada sifat jabatan seorang hakim, yaitu mengatur dan memaksa, tetapi konsep hukum senantiasa berkembang,bergerak karena pengadilan selalu membentuk hukum baru. Kalimat terakhir inilah menunjukkan bahwa Van Apeldoorn mengakui putusan pengadilan sebagai sumber hukum selain Undang-Undang.Sebagai putusan pengadilan yang menjadi sumber hukummaka perlu memberikan keadilan dalam bentuk putusan yangseadil-adilnya pada pencari keadilan dan menerapkan asassederhana, cepat dan biaya ringan dalam proses penyelesaian perkara di PA. Sistem kekuasaan kehakiman Indonesia ber-dasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 telahmengakui pandangan aliran Sociological Jurisprudence,terbukti dengan dimasukannya ketentuan pasal 5 ayat (1) yangberbunyi sebagai berikut :“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti,dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan

Makna, fungsi dan peranan hakim yang dikehendaki oleh Undang-Undang adalah legislator’s judge.

Aspeksosiologis mengandung makna bahwa hakim harus peka dan tanggap terhadap nilai keadilan yang berkembang dalammasyarakat. Aspek teleologis mengandung makna bahwahakim harus memahami tujuan pembentukan suatu Undang-Undang dan tujuan umum dari hukum yaitu memelihara ketertiban, kepastian hukum dan keadilan serta kemanfaatan dalam satu rangkaian sistematis yang sepatutnya tercermin di dalam putusan pengadilan. Sedangkan aspek yuridis mengandung makna dasar putusan hakim harus diletakkanPada Undang-Undang (hukum tertulis). Keempat aspek yangterkandung dalam Pasal 5 di atas perlu dipahami oleh hakim untuk mencapai cara berpikir paripurna dalam memeriksa dan memutus suatu perkara.Hakim dalam tugasnya menerima, memeriksa, menye-lesaikan dan memutus perkara hendaknya berpijak padanilai-nilai kebenaran dan keadilan serta menjunjung tinggiasas peradilan yaitu asas sederhana, cepat dan biaya ringan.Penerapan asas tersebut sangat penting untuk diperhatikansebagai bentuk pertanggungjawaban hukum dalam keduduk-annya sebagai penegak hukum dalam memberikan rasa keadilan pada pencari keadilan.Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa dewasa ini masyarakat sebagai pencari keadilan untuk mencapai keadilan di lembaga peradilan tidak ditemukan. Keadilan hanya dapat dirasakan oleh orang-orang yang ‘berduit dan memiliki ke-kuasaan. Proses peradilan yang katanya menjunjung tinggi asas sederhana, cepat dan biaya ringan hanyalah menjadi symbol,slogan dan bingkai peradilan yang sering dikumandangkanoleh penegak hukum. Akan tetapi dalam kenyataannya, proses pelayanan dan penyelesaian perkara membutuhkan waktu danbiaya yang sulit dijangkau oleh masyarakat. Bahkan mereka yang tidak mampu perkaranya bisa diterima di Pengadilandengan ketentuan/syarat membawa surat keterangan tidakmampu dari lurah. Itupun membutuhkan biaya.Peradilan sebagai tempat untuk mencari keadilan dan yangmenjunjung tinggi asas sederhana, cepat dan biaya ringansulit untuk ditemukan di PA. Hal ini pernah peneliti temukandi lapangan ketika berkunjung ke Pengadilan Agama, peneliti menanyakan waktu sidang kepada pihak yang berperkara.Mereka mengatakan bahwa sidangnya ditunda sampai jam sekian. Ternyata waktu sidang yang ditentukan oleh majelishakim yang menyidangkan suatu perkara sering ditunda/molor. Hal ini pula yang menjadi penyebab kurangnya advokat mau memberikan jasa hukumnya di PA karena tidak adanya sikap konsisten waktu dan pelayanan yang berbelit-belit. Oleh karena itu, untuk mewujudkan peradilan yang sederhana,cepat dan biaya ringan dan menjunjung tinggi asas keadilanmaka dibutuhkan sebuah reformasi penyelesaian perkara yang efektif dan efisien serta menjadikan lembaga peradilan sebagai lembaga yang melayani masyarakat bukannya lembaga yang mau dilayani.

Rabu, 10 Agustus 2022

JUSTICE COLLABORATOR DAN PERLINDUNGAN HUKUMNYA



Justice collaborator
 dalam perkembangan terkini mendapat perhatian serius, karena peran kunci mereka dalam “membuka” tabir gelap tindak pidana tertentu yang sulit diungkap oleh penegak hukum. Justice collaborator diartikan sebagai saksi pelaku suatu tindak pidana yang bersedia membantu atau bekerjasama dengan  penegak hukum. Peran kunci yang dimiliki oleh justice collaborator antara lain:

  1. Untuk mengungkap suatu tindak pidana atau akan terjadinya suatu tindak pidana, sehingga pengembalian asset dari hasil suatu tindak pidana bisa dicapai kepada negara;
  2. Memberikan informasi kepada aparat penegak hukum; dan
  3. Memberikan kesaksian di dalam proses peradilan.

Dengan demikian kedudukan justice collaborator merupakan saksi sekaligus sebagai tersangka yang harus memberikan keterangan dalam persidangan, selanjutnya dari keterangan tersebut dapat dijadikan pertimbangan  hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.

Terminologi

Justice collaborator pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat sekitar tahun 1970-an. Dimasukkanyan doktrin tentang justice collaborator di Amerika Serikat sebagai salah satu norma hukum di negara tersebut dengan alasan perilaku mafia yang selalu tutup mulut atau dikenal dengan istilah omerta sumpah tutup mulut . Oleh sebab itu, bagi mafia yang mau memberikan informasi, diberikanlah fasilitas justice collaborator berupa perlindungan hukum. Kemudian terminology justice collaborator berkembang pada tahun selanjutnya di beberapa negara, seperti di Italia (1979), Portugal (1980), Spanyol (1981), Prancis (1986), dan Jerman (1989).

Dalam perkembangannya, pada konvensi Anti Korupsi (United Nation Convention Against Corruption – UNCAC ) dilakukan sebagai upaya untuk menekan angka korupsi secara global. Dengan adanya kerjasama internasional untuk menghapuskan korupsi di dunia, maka nilai-nilai pemberantasan korupsi didorong untuk disepakati oleh banyak negara. Salah satu hal yang diatur di dalam konvensi UNCAC, pada ketentuan Pasal 37 ayat (2) dan  (3) adalah penanganan kasus khusus bagi pelaku tindak pidana korupsi yang ingin bekerjasama dengan aparat penegak hukum. Kerjasama tersebut di atas ditujukan untuk mengusut pelaku lain pada kasus yang melibatkan si pelaku. Kemudian kerjasama antara pelaku dengan penegak hukum dikenal dengan istilah Justice Collaborator. Konvensi UNCAC telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003).

Norma Hukum Nasional

Dalam hukum nasional, Justice collaborator diatur dalam  Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-undang Nomor 31 tahun 2014 (perubahan atas UU Nomor 13 tahun 2006) tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 04 tahun 2011, Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri, KPK, dan LPSK tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama.

Sumber hukum yang disebutkan di atas masih belum memberikan pengaturan yang proporsional, sehingga keberadaan justice collaborator bisa direspon secara berbeda oleh penegak hukum. Misalnya pada Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Wistleblowers) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborators) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. Lahirnya SEMA di atas didasarkan pada pertimbangan: bahwa dalam tindak pidana tertentu yang serius seperti teroris, korupsi, narkotika, pencucian uang, tindak pidana perdagangan orang, telah menimbulkan gangguan yang serius pada masyarakat, sehingga perlu ada perlakuan khusus kepada setiap orang yang melaporkan, mengetahui atau menemukan suatu tindak pidana yang membantu penegak hukum dalam mengungkapnya. Oleh sebab itu, untuk mengatasi tindak pidana tersebut di atas, para pihak yang terlibat dalam tindak pidana tersebut perlu mendapatkan perlindungan hukum dan perlakuan khusus

Selanjutnya, dalam SEMA diberikan pedoman kepada hakim dalam menjatuhkan pidana kepada justice collaborator dengan beberapa kriteria:

  1. Yang bersangkutan merupakan pelaku tindak pidana tertentu, mengakui kejahatannya, bukan pelaku utama dan memberikan keterangan sebagai saksi dalam perkara tersebut;
  2. Jaksa Penuntut Umum telah menjelaskan dalam tuntutannya menyatakan yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang signifikan sehingga dapat mengungkap tindak pidana dimaksud.

Dalam konteks di atas, hakim yang memeriksa perkara diminta untuk menjatuhkan putusan:

  • Pidana percobaan bersyarat dan atau;
  • Pidana penjara yang paling ringan dengan mempertimbangkan keadilan dalam masyarakat.

Meskipun dalam SEMA sudah diatur dan sudah dijadikan panduan bagi hakim-hakim di lingkungan peradilan di Indonesia, namun SEMA tersebut tidak bisa mengikat jaksa maupun bagi penyidik. SEMA di atas hanyalah aturan internal di lingkungan peradilan, sehingga tidak memiliki otoritas yang kuat dalam memastikan bahwa justice collaborator mendapatkan perlakuan khusus. Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban juga tidak memberikan jaminan perlindungan terhadap justice collaborator.  KUHP dan KUHAP juga tidak mengatur posisi justice collaborator secara tuntas. Dengan demikian norma pada hukum positif kita tidak memberikan tempat yang layak pada justice collaborator. Oleh sebab itu, perlu untuk mencari terobosan hukum dalam memberikan perlindungan kepada justice collaborator.

Selain SEMA, ada juga Peraturan Bersama Nomor 11 Tahun 2011, yang mana peraturan tersebut dinilai sebagai terobosan hukum dalam rangka mengisi kekosongan hukum namun dalam pelaksanaannya tetap ditemukan kendala. Kendala utama yang ditemukan adalah  penanganan khusus bagi saksi pelaku yang bekerjasama.  Perwujudan dari penanganan khusus bagi saksi pelaku yang bekerjasama juga yang tidak jelas (clear), yang mana terlihat pada Pasal 6 ayat 3. Lembaga penegak hukum lebih cenderung menggunakan KUHAP dari pada Peraturan Bersama, sehingga hak-hak saksi pelaku yang bekerjasama, dalam praktiknya tidak mendapatkan penanganan khusus.

Atas kerumitan norma yang ada tentang justice collaborator, maka Undang-undang No. 13 Tahun 2006 direvisi dengan Undang-undang No. 31 Tahun 2014 khususnya pada Pasal 10 Undang-undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 rumusan normanya adalah sebagai berikut:

  1. Saksi, Korban dan Saksi Pelaku dan atau Pelaporan tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dana tau laporan yang akan, sedang atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik.
  2. Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan atau Pelapor atas kesaksian dan atau laporan yang akan, sedang atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan  kesaksianntelah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap.

Kemudian dalam dalam Pasal 10 (A)

  1. Saksi Pelaku dapat diberikan penanganan secara khusus dalam proses pemeriksaan dan penghargaan atas kesaksian yang diberikan.
  2. Penanganan secara khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

(1) Pemisahan tempat penahanan atau tempat menjalani pidana antara Saksi Pelaku dengan tersangka, terdakwa, dan/atau narapaidana yang diungkap tindak pidananya;

(2) Pemisahan pemeriksaan antara berkas Saksi Pelaku dengan berkas tersangka dan terdakwa dalam proses penyidikan, dan penuntutan atas tindak pidana yang diungkapkannya dan/atau:

(3) Memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya.

(3) Penghargaan atas kesaksian sebagaimana dimaksud paad ayat (1) berupa :

  • Keringanan penjatuhan pidana; atau
  • Pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-unndangan bagi Saksi Pelaku yang berstatus narapidana.

Untuk memperoleh penghargaan berupa keringanan penjatuhan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, LPSK memberikan rekomendasi secara tertulis kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntututannya kepada hakim. dan Untuk memperoleh penghargaan berupa pembebasan  bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, LPSK memberikan rekomendasi secara tertulis kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

Meskipun norma justice collaborator telah diatur dalam Undang-undang No. 31 Tahun 2014, namun masih tetap ditemukan kelemahan  dalam pelaksanaannya. Kelemahan pertama adalah untuk mengajukan permohonan justice collaborator ke LPSK, sehingga mengacu pada tersebut di atas, pengaturannya masih belum jelas diatur. Pada kondisi demikian, muncul pertanyaan: Jika tersangka ditahan oleh KPK, apakah permohonan sebagai justice collaborator diajukan ke KPK atau LPSK atau kepada keduanya? Dalam praktik, ada tiga jawaban atas pertanyaan tersebut di atas. Pertama; permohonan sebagai justice collaborator diajukan kepada KPK. Kedua, untuk mendapatkan penanganan khusus, sangat tergantung dari instansi yang menangani tersangka/terdakwa, dan penilaian apakah yang bersangkutan bisa dikategorikan sebagai justice collaborator atau tidak bisa, keputusannya ditentukan oleh instansi yang bersangkutan. Dengan demikian, penilaian akan ketentuan justice collaborator menjadi sangat subjektif, dan LPSK tidak memiliki kekuatan dalam menentukan apakah seseorang layak mendapatkan status justice collaborator atau tidak layak. Ketiga, penghargaan untuk mendapatkan keringanan hukuman sifatnya tidak mengikat hakim. Surat rekomendasi yang diterbitkan oleh LPSK terhadap pengadilan belum tentu bisa dijadikan dasar untuk meringankan hukuman seorang justice collaborator. Demikian juga dengan rekomendasi LPSK untuk mendapatkan remisi tambahan, pembebasan bersyarat kepada justice collaborator tidak serta merta menjadi pertimbangan dalam pelaksanaannya.

Oleh sebab itu, sepanjang norma tentang justice collaborator tidak melekat dalam revisi KUHAP, maka masih ditemukan kendala prosedural formal. KUHAP merupakan norma hukum pidana formil, yang meletakan dasar-dasar yang kokoh dalam criminal justice system. LPSK tidak ditempatkan dalam sistem tersebut, sehingga keberadaan institusi tersebut belum begitu dipertimbangkan oleh lembaga-lembaga penegak hukum yang ada. Positioning LPSK berbeda sekali dengan KPK, lembaga tersebut tidak memiliki kewenangan yang “berwibawa” di mata penegaka hukum, sehingga rekomendasi yang diberikan oleh LPSK memiliki dua opsi, yaitu:  “boleh dipatuhi” atau “boleh tidak dipatuhi”.

Studi Kasus

Agus Condro Prayitno adalah anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR RI dari PDI Perjuangan Periode 1999-2004. Bersama dengan tiga rekannya yaitu Max, Willem dan Rusman menjadi terpidana karena menerima cek pelawat usai kemenangan Miranda Swaray Goeltom  sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004.

Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Agus Condro Prayitno lebih ringan satu tahun dibandingkan dengan tiga rekannya. Agus Condro dituntut selama satu tahun enam bulan dengan denda Rp 50 juta, subsider tiga bulan. Berbeda dengan Max Moein, Rusman Lumban Toruan, dan Willem Max Tutuarima. Ketiga rekan Agus Condro dituntut pidana selama dua tahun enam bulan, denda Rp 50 juta, subsider tiga bulan. Khusus bagi Max Moien dan Rusman Lumban Toruan, jaksa menambah tuntutan pidana perampasan uang dan barang-barang yang diperoleh hasil korupsi atau harta kekayaan senilai Rp 500 juta yang dimiliki oleh terdakwa dan keluarganya. Jaksa juga meminta uang tunai Rp 100 juta yang dikembalikan Agus Condro menjadi rampasan negara. Perbedaan tuntutan jaksa pada kasus di atas didasarkan pada alasan bahwa Agus Condro membantu KPK dalam membongkar skandal korupsi dalam pemilihan Miranda sebagai Deputi Gubernur Bank Indonesia.

Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang diketuai Suhartoyo, memutuskan Agus Condro bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Agus disidangkan bersama tiga terdakwa lain sesama mantan anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan DPR periode 2004-2009, Max Moein, Rusman Lumbantoruan, dan Willem Tutuarima. Max dan Rusman divonis satu tahun delapan bulan penjara, sedangkan Willem divonis satu tahun enam bulan. Agus Condro sendiri divonis satu tahun 3 bulan. Hanya berberbeda tipis dengan pelaku korupsi lainnya.

Penutup

Pentingnya perlindungan hukum terhadap justice collaborator, perlakuan khusus dan hukuman percobaan/peringanan hukum menjadi hal yang sangat penting untuk dapat membuat sebuah perisitiwa pidana yang awalnya gelap gulita menjadi terang menderang. Namun untuk mewujudkan misi penyelesaian akan tindak pidana, peraturan yang ada tidak mendukung untuk memujudkanya. Demikian juga dengan keberadaan LPSK yang diberikan mandat oleh undang-undang yang tidak maksimal menjalankan fungsinya.  Situasi di atas tentunya harus segera diatasi. Dalam jangka panjang, KUHAP harus mamasukkan pengaturan yang tegas dan jelas mengenai hal justice collaborator, dan LPSK juga harus diberikan mandat untuk dapat memberikan perlindungan hukum bagi justice collaborator, dan dimandatkan juga sebagai bagian dari criminal justice system. Dengan kelengkapan instrumen hukum maka keberadaan justice collaborator bisa mengungkap berbagai kasus pidana menjadi lebih jelas. (***)

 


Sabtu, 23 Juli 2022

Pembuktian Dalam Upaya Memenangkan Perkara Perdata





Upaya penegakan hukum melalui lelang eksekusi Hak Tanggungan, lelang eksekusi Pengadilan, lelang eskekusi PUPN, dan lelang eksekusi harta pailit oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) seringkali berhadapan dengan gugatan/bantahan/perlawanan. Gugatan dan atau perlawanan yang melibatkan KPKNL ini bisa berasal dari debitur atau pihak lain. Dalam perkembangannya, seiring dengan tugas dan fungsi KPKNL sebagai pengelola Barang Milik Negara (BMN) tidak terlepas pula perkara terkait BMN.

Menghadapi maraknya gugatan tersebut selain diperlukan pengetahuan yang luas juga diperlukan dukungan administrasi yang baik. Berkas-berkas yang berhubungan dengan perkara lelang dan atau pengelolaan BMN meliputi Risalah Lelang termasuk didalamnya lampiran-lampiran dalam Risalah Lelang dan/atau Surat Keputusan/Persetujuan pengelolaan BMN berikut kelengkapannya harus diadministrasikan secara baik. Administrasi yang baik akan memudahkan pada saat perkara memasuki dalam tahap Pembuktian.

Sebelum masuk pada uraian Pembuktian, penulis mencoba memberikan sedikit ulasan tentang perkara perdata. Sebagaimana diketahui bahwa perkara perdata ini menyangkut hak-hak keperdataan seseorang atau pribadi. Hal ini mengakibatkan bahwa tugas dan peran hakim perkara perdata bersifat pasif. Dalam hal ini, hakim dalam perkara perdata hanya terbatas menerima dan memeriksa sepanjang mengenai hal-hal yang diajukan oleh para pihak, penggugat dan tergugat. Kebenaran diwujudkan sesuai dasar alasan dan fakta-fakta yang diajukan para pihak selama proses persidangan. Bertitik tolak dari hal tersebut dan berdasarkan pengalaman penulis sebagai petugas penangan perkara, saat proses pemeriksaan perkara masuk pada tahap Pembuktian, berupa Bukti Tertulis/Surat maka keberadaan dokumen adalah mutlak diperlukan.

Hukum pembuktian Perkara Perdata termuat dalam HIR ( Herziene Indonesische Reglement ) yang berlaku di wilayah Jawa dan Madura, Pasal 162 sampai dengan Pasal 177; RBg ( Rechtsreglement voor de Buitengewesten ) berlaku diluar wilayah Jawa dan Madura, Pasal 282 sampai dengan Pasal 314; Stb. 1867 No. 29 tentang kekuatan pembuktian akta di bawah tangan; dan BW ( Burgerlijk Wetboek ) atau KUHPerdata Buku IV Pasal 1865 sampai dengan Pasal 1945. Berdasarkan pasal 1866 KUH Perdata/pasal 164 HIR, alat bukti yang diakui dalam perkara perdata terdiri dari bukti tulisan, bukti saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Alat bukti tulisan/tertulis/surat, ditempatkan dalam urutan pertama. Hal ini bersesuaian dengan kenyataan bahwa dalam perkara perdata, surat/dokumen/akta memegang peran penting.

Pembuktian dalam Perkara Perdata adalah upaya untuk memperoleh kebenaran formil (formeel waarheid). Kebenaran formil didasarkan pada formalitas-formalitas hukum sehingga akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat. Sempurna berarti hakim tidak memerlukan alat bukti lain untuk memutus perkara selain berdasarkan alat bukti otentik dimaksud. Sedangkan mengikat berarti hakim terikat dengan alat bukti otentik kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.

Sesuai dengan bunyi pasal 1868 KUH Perdata “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat”. Merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 27/PMK.06/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang pasal 1 angka 14, pengertian Pejabat Lelang adalah orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan diberi wewenang khusus untuk melaksanakan penjualan barang secara lelang. Sebagai pejabat umum, Pejabat Lelang dalam setiap pelaksanaan lelang membuat produk berupa Risalah Lelang. Risalah lelang merupakan berita acara pelaksanaan lelang yang merupakan akta otentik dan mempunyai kekuatan pembuktian sempurna, sebagaimana tercantum dalam pasal 1 angka 35 PMK Nomor 27/PMK.06/2016 tersebut. Selanjutnya bunyi pasal 1 angka 36 adalah “Minuta Risalah Lelang adalah Asli Risalah Lelang berikut lampirannya yang merupakan dokumen atau arsip negara.

Disinilah administrasi memegang peran penting. Pentingnya surat-surat terkait dengan pelaksanaan lelang dan pengelolaan BMN baik yang berasal dari pihak pemohon lelang/satuan kerja maupun produk yang dihasilkan oleh KPKNL didokumentasikan dengan baik. Sebagai berita acara dalam pelaksanaan lelang, Risalah Lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang telah ditetapkan formatnya dalam Peraturan Dirjen Kekayaan Negara Nomor 5 tahun 2017 yang mengatur tentang Risalah Lelang. Keseluruhan dokumen pendukung Risalah Lelang merupakan satu kesatuan yang disebut dengan Minuta Risalah Lelang. Demikian pula dalam hal produk hukum yang terkait dengan pengelolaan BMN. Keseluruhan dokumen pendukung produk hukum dalam pengelolaan BMN sudah semestinya di administrasikan secara baik dan menjadi satu kesatuan dengan produk Surat Keputusan/Persetujuan sebagaimana Risalah Lelang. Meskipun dalam pengelolaan BMN belum ada satu aturan pun yang mengatur mengenail hal ini.

Bukti tertulis harus diajukan sebagai bukti penyanggah dalil-dalil dalam gugatan/bantahan/perlawanan pihak Penggugat/Pembantah/Pelawan. Ketersediaan dokumen asli menjadi begitu penting agar keseluruhan dokumen tersebut dipertimbangkan oleh Majelis Hakim. Sedangkan dokumen yang berupa salinan/copy dokumen tidak akan dipertimbangkan oleh Majelis Hakim akan tetapi hanya akan menjadi sebuah catatan saja.

Dalam praktiknya memang tidak seluruh dokumen lampiran Risalah Lelang dalam Minuta Risalah Lelang merupakan dokumen asli, terutama dokumen yang berasal eksternal misalnya sertifikat kepemilikan, sertifikat pengikatan, dokumen perjanjian kredit dan laporan hasil penilaian. Hal ini pun tidak bertentangan dengan Peraturan Dirjen Kekayaan Negara Nomor 2 tahun 2017 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Lelang yang mengatur tentang teknis pelaksanaan lelang termasuk di dalamnya dokumen-dokumen yang harus dilampirkan oleh pemohon lelang dalam mengajukan permohonan lelang kepada KPKNL. Untuk dokumen eksternal yang masih dapat diupayakan mendapatkannya sebagai dokumen asli seyogyanya dilakukan.

Dalam beberapa kasus, seringkali pihak pemohon lelang sudah tidak mempunyai dokumen asli, misalnya surat peringatan dan surat pemberitahuan lelang. Hal tersebut terjadi karena surat-surat tersebut sudah disampaikan kepada penerima surat, sementara di sisi lain tidak dipertimbangkan dokumen untuk keperluan arsip. Terkait dengan surat pemberitahuan rencana pelaksanaan lelang, hal yang tak kalah pentingnya adalah tanda penerimaan surat tesebut, yaitu apabila surat pemberitahuan disampaikan secara langsung atau resi/bukti pengiriman surat apabila surat pemberitahuan disampaikan melalui jasa pengiriman. Dan kewajiban membuktikan surat-surat dimaksud utamanya berada di tangan pemohon lelang. Agar terjadi kesamaan persepsi dengan pihak pemohon lelang diperlukan koordinasi dan penyampaian informasi yang tepat dengan pihak pemohon lelang.
 
Sedangkan untuk dokumen internal pun harus diupayakan merupakan dokumen asli. Apabila tidak memungkinkan untuk menjadi lampiran risalah lelang (Minuta Risalah Lelang) berupa dokumen asli semua karena menjadi lampiran untuk Minuta Risalah Lelang yang lain, maka pada saat Pembuktian yang ditunjukkan ke Majelis Hakim adalah dokumen aslinya. Hal ini terjadi apabila dalam satu kali pelaksanaan lelang menghasilkan lebih dari satu Risalah Lelang.
Apabila dokumen-dokumen asli tersebut bisa ditunjukkan ke hadapan Majelis Hakim maka akan semakin menguatkan dalil sanggahan jawaban/duplik KPKNL dan pemohon lelang/satuan kerja, yang sama-sama berkedudukan sebagai Tergugat/Terbantah/Terlawan.
 
Kekuatan pembuktian perkara perdata untuk memenangkan perkara yang berdasar pada dokumen ini juga harus memperhatikan beberapa hal menyangkut kebenaran formil di dalamnya. Sebagaimana pendapat M. Yahya Harahap, bahwa kekuatan pembuktian sempurna dan mengikat pada akta otentik harus memenuhi tiga kriteria yaitu kekuatan bukti luar, kekuatan pembuktian formil dan kekuatan pembuktian materiil. Suatu akta otentik yang diperlihatkan harus dianggap dan diperlakukan sebagai akta otentik kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya pada akta tersebut melekat bukti luar/harus diterima kebenarannya sebagai akta otentik. Kekuatan pembuktian formil berdasarkan pasal 1871 KUH Perdata, menyangkut kebenaran formil yang dicantumkan oleh pejabat pembuat akta. Untuk kebenaran materiil, merupakan permasalahan benar atau tidak keterangan yang tercantum di dalamnya.
 
Agar dokumen-dokumen tersebut di atas memenuhi syarat formil dan materiil maka yang harus diperhatikan adalah ketika membuatnya adalah kehatian-hatian. Dalam hal ini, harus dicermati penulisan keterangan di dalamnya mengenai subyek dan obyek peristiwa, tanggal ataupun keterangan lainnya.

Tanggung jawab yang melekat pada diri pribadi seorang Pejabat Lelang, mengharuskan Pejabat Lelang lebih berhati-hati, cermat dan teliti dalam membuat Risalah Lelang. Administrasi yang baik tidak hanya meliputi keberadaaan dokumen dan keaslian dokumen akan tetapi menyangkut kebenaran apa yang tercantum dalam dokumen. Kebenaran dalam hal ini adalah tidak adanya kesalahan pencantuman penulisan/keterangan/redaksional dalam dokumen.

Terhadap adanya kesalahan redaksional telah diakomodir para pembuat kebijakan, dimana memungkinkan adanya ralat dalam Risalah Lelang. Sebagaimana di atur dalam Perdirjen KN Nomor 5 tahun 2017 pasal 14 sampai dengan pasal 17 termasuk di dalamnya hal-hal teknis pembetulan terhadap adanya kesalahan redaksional Risalah Lelang.

Pada akhir bagian dari tulisan ini, penulis kembali menekankan pentingnya administrasi dan penatausahaan dokumen yang baik dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi pelayanan yang diberikan kepada para pengguna jasa. Antisipasi terhadap upaya hukum yang mungkin timbul adalah hal yang harus dilakukan untuk mempertahankan apa yang telah dijalankan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Disamping itu sebagai bagian dari upaya pemberian layanan kepada pemenang lelang khususnya untuk mempertahankan haknya, sebagaimana layaknya layanan purna jual, meminjam istilah dalam bisnis..

Bahwa sepanjang pelaksanaan tugas dan fungsi telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan didukung dengan administrasi yang baik sehingga Pembuktian bisa dilakukan secara baik maka prosentase kemenangan dalam menghadapi upaya hukum pun akan semakin besar. Bahwa dalam praktek berperkara selama ini, Pembuktian dari KPKNL relatif lebih lancar apabila dibandingkan pihak lain. Hal ini tentunya tiak lepas dari dukungan administrasi yang baik. Pembuktian yang baik akan sangat menetukan dalam kemenangan perkara.

Kemenangan berpekara ini membuktikan bahwa semua hal yang terkait sebelum pelaksanaan tugas, sewaktu pelaksanaan tugas dan paska pelaksanaan tugas telah diupayakan secara maksimal dengan harapan pihak-pihak yang berkepentingan merasa terlindungi. Kewajiban memberikan layanan prima sudah seyogyanya dilakukan.

Selasa, 19 Juli 2022

PENYALAHGUNAAN NARKOBA MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM

 Penyalahgunaan Narkoba (Narkotika dan obat-obat berbahaya) adalah kejahatan Internasional dan ekstra ordinary crime. Pada zaman era globalisasi saat ini masyarakat turut berkembang secara dinamis, yang diikuti proses penyesuaian diri yang terkadang terjadi secara tidak merata, dengan memanfaatkan perkembangan teknologi paling mutakhir dan canggih dalam bidang telekomunikasi dan transportasi, sehingga (akan) memudahkan akses berbagai macam termasuk didalamnya tentang alur masuk dan keluar (transaksi) narkoba.

 Penyalahgunaan penggunaan obat-obat terlarang (narkoba), termasuk penggunaan alkohol, terus meningkat dalam masyarakat terutama para remaja, dan di beberapa tempat, obat-obatan terlarang tersebut telah menarik para remaja dalam dunia kejahatan dan kecanduan yang mematikan.

 Setiap orang, masyarakat, keluarga, dan individu-individu bahkan publik figure (pejabat) harus memproteksi diri dengan penanaman nilai-nilai agama yang kuat, yang berakar dari kepercayaan agama yang merupakan faktor perlindungan yang efektif guna mencegah dampak penggunaan narkoba sebagai tindakan yang beresiko tinggi.

 Narkoba dalam konteks hukum Islam adalah termasuk masalah Ijtihadi karena narkoba tidak disebutkan secara langsung di dalam Al Quran dan Hadits, serta tidak di kenal pada masa Rasulullah SAW. Ketika itu yang ada di tengah-tengah masyarakat yang mayoritas peminum khamr. Hukum Pidana Islam yaitu ilmu yang berkenaan dengan larangan-larangan syara' yang di ancam oleh Allah SWT, dengan hukuman had atau ta'zir yang di peroleh atau di gali dari Al Quran dan Hadist, atau lazim di sebut fiqih jinayah. 

Sedangkan yang dimaksud dengan Hukum Pidana Nasional yaitu hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran, kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum dan perbuatan yang di ancam dengan hukuman yang di atur di dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), dan pada kasus penyalahgunaan Narkotika ialah Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Kasus narkoba (narkotika dan obat-obatan terlarang) di negara kita, semakin hari bukanya semakin berkurang tetapi malah justeru semakin meningkat; baik sebagai pengedar, pemakai, penjual, bahkan sebagai bandar. Kalangan pengonsumsi narkoba mulai dari orangorang tua sampai pada generasi muda dan anak-anak. Jenisnya macam-macam, antara lain: ganja, morfin, ekstasi (ineks), lem aibon, atau shabu-shabu. 

Padahal, Pemakaian narkoba sangat dilarang di Indonesia (kecuali untuk kepentingan dunia kedokteran atau pengobatan), bagi yang kedapatan membawa, menjual, memakai, bahkan memperjualbelikan narkoba akan dikenakan sanksi pidana karena telah melanggar Undang-Undang Psikotropika.


 

PENGERTIAN TATA HUKUM INDONESIA


 Saat ini tidak ada satu bangsa pun yang tidak memiliki hukumnya sendiri. Jika dalam Bahasa Indonesia mempunyai tata bahasa, begitu juga dalam hukum dikenal dengan tata hukum. Indonesia mempunyai tata hukum Indonesia yang berlaku sekarang di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hukum yang sedang berlaku di Indonesia dipelajari dan dij
adikan objek dari ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang objeknya hukum yang sedang berlaku dalam suatu negara, disebut ilmu pengetahuan hukum positif (ius constitutum).

Tata hukum berasal dari kata dalam bahasa Belanda “recht orde”, ialah susunan hukum yang artinya memberikan tempat yang sebenarnya kepada hukum. Yang dimaksud dengan “memberikan tempat yang sebenarnya”, yaitu menyusun dengan baik dan tertib aturan-aturan hukum dalam pergaulan hidup supaya ketentuan yang berlaku dengan mudah dapat diketahui dan digunakan untuk menyelesaikan setiap peristiwa hukum yang terjadi. Tata atau susunan itu pelaksanaannya berlangsung selama ada pergaulan hidup manusia yang berkembang. Karenanya, dalam tata hukum ada aturan hukum yang berlaku pada saat tertentu di tempat tertentu yang disebut juga hukum positif atau ius constitutum. Dengan demikian dapat dimengerti bahwa tata hukum Indonesia merupakan hukum positif di mana terdapat aturan-aturan hukum tertentu yang pernah berlaku dan sudah diganti dengan aturan hukum baru yang sejenis dan berlaku sebagai hukum positif baru.

Entri Populer